11. Mengejar Narasumber

779 122 9
                                    

Chapter 11

Adalah kamu
Diksi yang kutulis dalam selembar kenangan
Menjadi puisi yang membingkai kesepian
Berisi harapan agar kamu kembali ke pelukan

Adalah aku
Penyair yang disiksa kata-kata
Lewat tulisan dalam lembaran karya
Yang selamanya tidak kamu baca

"Bagaimana, Rish? Sudah ada kah progress terkait wawancara Rakata?"

Pertanyaan yang muncul seketika itu membuyarkan konsentrasiku membaca puisi indah karya Ditha yang dipajang di mading sekolah. Ketika menoleh, kutemukan wajah Keanu yang tampak penasaran.

"Formal amat, sih. Gue kira kepsek yang nyamperin gue."

Keanu tersenyum. "Lo sih, fokus amat. Baper, ya, sama puisinya?"

"Tulisannya bagus, gue kagum aja. Belasan tahun hidup mana bisa gue ngerangkai kata-kata puitis begitu."

"Okay, back to the topic. Gimana soal Rakata?"

"Belum ada progress berarti, ini gue baru mau nyamperin dia," jawabku sambil menunjuk ke arah lapangan basket di seberang kami.

Ya, jadi sebenarnya alasanku berdiri di sekitar mading, sok sibuk membaca adalah untuk memantau kehadiran Rakata. Berdasarkan informasi dari Mona, hari ini kelas mereka ada jadwal olahraga. Oleh sebab itu, di jam istirahat ini, Rakata masih bermain basket dengan teman sekelasnya, Bara.

Keanu melirik arah dimana Rakata berada. "Yaudah, samperin sekarang. Mumpung dia lagi istirahat, tuh."

Di tengah lapangan, bola basket buluk berwarna coklat kini dikuasai oleh Bara yang melakukan lay up shoot dengan sok keren. Sedangkan Rakata yang masih keringatan, hanya menatap sambil meminum sebotol air mineral di pinggir lapangan.

Aku menghela napas panjang dan mengangguk menatap Keanu. Mungkin ini memang saatnya menghampirinya.

"Iya gue memang mau kesana."

"Okay, semangat ya, Rish!"

"Ditunggu coklatnya," balasku.

Keanu mendengus, namun tak membantah.

Dengan santai aku melangkah ke arah Rakata. Sepertinya berusaha menebalkan muka di depan cowok itu kini menjadi salah satu kebiasaanku akhir-akhir ini.

"Wah, Derish, ngapain kesini?" suara serak Bara yang terdengar cukup lantang mengagetkanku yang baru saja mau menyapa Rakata yang berdiri memunggungiku. Perkataan Bara berhasil membuat Rakata sontak berbalik.

"Nyamperin Rakata, ya?" tanya Bara lagi, kali ini dilengkapi dengan tampang menyebalkannya. Bibirnya itu mulai berkedut mengulas senyum, ditambah tatapan matanya yang seolah menuduh. Serius, aku benci Bara kalau sudah bertingkah menyebalkan begini.

Aku berdehem, "Ka, lo nggak lupa kan sama perjanjian kita?" tanpa memperdulikan Bara, aku langsung bertanya to the point pada Rakata.

"Tentang?" Tanpa kuduga, jawaban itu yang lolos dari bibir cowok bertubuh tinggi itu.

Alisku langsung menukik tajam. Dia nggak mungkin melupakan perjanjian sepenting itu. Harusnya dia tahu hanya itulah satu-satunya alasan kenapa aku menghampirinya.

"Wah, kalian ada janji? Janji makan bareng? Atau jalan bareng?" Bara terdengar bersemangat.

"Diem lo!" bentakku, kesal. "Wawancara itu, Ka." Sebisa mungkin aku menahan diri untuk nggak meninggikan suara.

"Oh, itu," sahut Rakata santai sambil manggut-manggut mengerti.

"Iya, itu..."

Bara menatapku dan Rakata bergantian. Tertarik dengan pembicaraan kami.

I Know You Miss MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang