13. Gosip

691 128 11
                                    

Chapter 13

Siswa-siswi SMA Alpha Plus makin gila! Kayaknya mereka belum pernah aku semprot pakai makian atau kutampar bolak-balik pakai buku paket matematika setebal 400 halaman punyaku. Sumpah, semakin didiamkan, mereka semua semakin menyebalkan.

Meskipun wawancara dengan Rakata sudah usai yang artinya aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan dan bisa kembali menganggapnya bagai orang asing yang nggak penting-penting banget untuk diajak ngomong, tetap saja aku nggak bisa menghindari gosip kalau aku masih berusaha ngejar-ngejar Rakata. Faktanya, gosip itu makin menjadi-jadi. Dan alasan kenapa gosip itu seakan tak pernah padam adalah sesuatu yang paling nggak masuk akal untuk dicerna organ lunak di tempurung kepalaku ini.

Masa mereka bilang kalau puisi berjudul "Adalah Aku dan Kamu" yang dipajang di mading sekolah itu adalah tulisanku? Mendengar itu awalnya aku hanya bisa tertawa lebar sebab aku tahu seribu persen bahwa penulis puisi itu adalah Ditha, teman sekelasku sendiri yang emang jago berpuitis ria. Namun, karena aku tidak bisa membocorkan identitas penyairnya karena Ditha yang memohon kepadaku, aku jadi nggak bisa meluruskan gosip ini. Karena melihatku kagok dan sok no comment, mereka semakin gencar menuduhku.

"Itu karena inisial yang bikin puisi itu huruf D doang. D for Derish," jelas Shanin karena aku masih terus-terusan menganggap siapapun yang menyimpulkan bahwa puisi itu adalah buatanku sebagai orang gila. Kalau mereka benar mengenalku, mereka akan tahu kalau kemampuanku bikin sesuatu dengan diksi yang macam-macam itu sangat payah. Kata lainnya sih, aku nggak jago berpuisi.

Dan seperti kemarin, aku meminta tolong ke Ditha untuk mengakui ke publik bahwa puisi itu adalah tulisannya. Tapi, seperti biasa, cewek itu menolak mentah-mentah.

"Sebenernya puisi itu dibuat untuk seseorang, Rish. Kalau dia tahu penulisnya adalah gue, bisa gawat," ucap Ditha.

"Tapi, Dit, seisi sekolah ngira gue nulis puisi untuk Rakata. Mana isinya kayak gitu pula! Kayak ngekodein dia banget. Padahal ogah banget kangen sama dia."

Ditha menghela napas seolah dia lah korbannya disini. "Gue minta maaf, Rish. Lo boleh sangkal kalau itu bukan tulisan lo, tapi jangan bilang juga itu tulisan gue."

Giliran aku yang menghela napas panjang. Ditha memang keras kepala alias nggak gampang kena bujuk rayu. Karena sadar memohon kepadanya adalah sesuatu yang sia-sia, aku cuma bisa menuruti keinginannya.

Istirahat kali ini aku langsung menuju ruang sekretariat jurnalistik. Hari ini aku mau menyetor artikel tentang profil siswa berprestasi yang sudah kudapatkan dengan susah payah.

Tiba disana, kulihat ada Keanu yang sedang sibuk pada berkas-berkas di atas meja.

"Lagi ngapain Bang Ke?"

Keanu mendongak. "Eh, Derish. Masuk, Rish. Gue lagi ngecek undangan dari ekskul lain yang minta liput acara mereka."

Aku melangkah mendekatinya. "Artikel gue udah selesai. Udah gue kirim email. Perlu hard copy-nya nggak?"

"Email gue?"

Aku mengangguk.

Keanu mengeluarkan ponselnya dan jempolnya dengan cekatan menyelusuri file yang kukirim padanya sekitar setengah jam yang lalu. Matanya memelotot ketika disadari bahwa hasil wawancaraku dengan Rakata telah berhasil. Lalu dengan lebaynya, dia menatapku dengan binar kebahagiaan yang tercetak jelas di wajahnya.

"Duh, makasih banget, Rish. Lo emang paling bisa diandalin. Gue udah menduga lo bisa handle nih tugas," ucap Keanu bersungguh-sungguh. "Soft copy-nya aja udah cukup, kok. Makasih banget ya, sekali lagi."

I Know You Miss MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang