16. Pacar Baru, Masalah Baru

868 130 19
                                    

Chapter 16

Six Degrees of Separation?

Ya, aku tahu betul itu lagu The Script. Aku bahkan sering mendengarnya dulu. Setahuku lagu itu menjelaskan tentang enam tahapan yang dirasakan orang setelah berpisah dari kekasihnya, tapi aku tidak begitu mengerti makna lebih dalamnya atau pesan apa yang sebenarnya ingin penyanyi itu sampaikan. Sepertinya setelah ini aku harus googling untuk mencari interpretasi lagu tersebut biar aku bisa mengerti maksud Rakata barusan.

Karena suasana yang mendadak awkward, kuputuskan untuk segera menyelesaikan sesi pemotretan dengan Rakata. Aku lebih dulu pamit meninggalkan perpustakaan karena jantungku mendadak berdebar tak wajar setiap melihat wajahnya. Sialnya, Rakata tampak kembali tenang. Senyum manis terulas dari bibirnya seolah sebelumnya kami tidak membahas sesuatu yang bisa dibilang topiknya off-limits.

Aku melangkah terburu-buru menyusuri koridor lantai ketiga ini. Di depan ruang musik, kulihat sosok Nayra dan temannya berdiri dengan angkuh. Tatapannya tertuju padaku. Karena tak mau terlibat drama lagi, dengan cuek, aku berusaha melewatinya begitu saja. Namun, sesuatu yang cukup keras menghalangi langkahku hingga membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai.

"Aish, sial!" ringisku bersamaan dengan bunyi pecahan kaca yang terdengar. Awalnya kukira handphone-ku jatuh dari saku, namun rupanya suara itu berasal dari kamera yang kini tergeletak tak berdaya di lantai. Mataku memelotot kaget. Aku mendongak ke arah Nayra yang kini menampilkan raut super menyebalkan.

"Lo ada masalah apa sih sama gue?!" sentakku pada Nayra setelah bangkit kembali dan memungut kamera digital yang kini tampak menyedihkan. LCD-nya retak dan pecah.

Nayra mendengus tanpa dosa. "Lo jatuh sendiri, kali."

"Jelas-jelas gue kesandung kaki lo!"

"Masa? Gue dari tadi aja diem aja disini. Tanya aja sama Jeni kalau nggak percaya," dia menunjuk teman di sampingnya dengan dagunya. Jeni yang sepertinya pengikut setia Nayra mengangguk saja.

"Kamera gue pecah, gila!" bentakku, kesal. Ralat, ini bukan kameraku. Ini kamera Tanti. Kenyataan yang makin memperumit keadaan.

"Jadi gue harus ganti rugi? Lo kali yang gila, lo jatuh sendiri malah nyalahin orang lain," jawabnya nggak mau kalah.

Sialnya, koridor lantai tiga memang sedang sepi jadi tak ada saksi mata yang bisa membelaku. Tak ada orang yang berlalu lalang disini karena memang lantai tiga ini hanya diisi oleh perpustakaan, ruang musik dan laboratorium komputer, tempat yang memang nggak akan didatangi orang kalau memang lagi nggak ada hal yang mengharuskan datang kesini.

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Nayra sengaja melakukan ini. Dia pasti tahu aku habis menemui Rakata. Sumpah, kelakuan seperti ini benar-benar kekanak-kanakan. Mau mendebatnya buang-buang tenang doang. Tapi kalau didiamkan, yang model begini bakal melunjak.

Aku menyelipkan poniku ke belakang telinga sambil menghela napas panjang,  berusaha tetap terlihat tenang menghadapi nenek lampir kayak Nayra. "Sikap lo ini nggak keren. Mengusik gue nggak akan bikin Rakata peduli sama lo. Gue tahu, pasti lo frustasi kan ya karena Rakata nggak ngebales perasaan lo? Boro-boro ngebales, kenal sama lo aja enggak."

Tangan Nayra terkepal di kedua sisi tubuhnya, kukira dia akan melayangkan tamparan atau jambakan di rambutku. Namun, dia hanya memandangku penuh permusuhan sebelum akhirnya menarik tangan temannya dan berlenggang meninggalkanku tanpa pertanggung jawaban sama sekali.

Aku membersihkan lututku yang terasa cukup sakit karena tadi menghantam lantai. Kemudian perhatianku kembali tertuju pada kamera milik Tanti yang kaca LCD sudah retak dan ada sedikit serpihan pecahan kaca di lantai.

I Know You Miss MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang