24. Dukungan dan Pengakuan

851 139 25
                                    

Chapter 24

"Eh, itu di depan kita Rakata kan, ya?

Pertanyaan Kak Dirga membuatku secara otomatis mengalihkan perhatian dari layar ponselku. Aku menatap pengendara motor di depan mobil kami melalui kaca depan.

"Bener, kan? Gue hapal motornya," tambah Kak Dirga.

Iya, dia seratus persen benar. Pengendara motor di depan kami memanglah Rakata. Sama sepertiku, dia sedang berangkat menuju sekolah.

"Iya, itu emang dia."

"Wah, dia nggak boncengin cewek, Rish. Masih jomlo dia kayaknya, Rish," komentar Kak Dirga sambil fokus mengemudi.

Decakan lolos dari bibirku. Namun melihat Rakata begini membuatku kembali mengingat ucapannya di Licious Romance kali terakhir. Kangen. Duh, kata-kata itu benar-benar mendiskreditkan diriku.

"Kok ngelamun? Mikirin sosok di depan sana yang hanya berjarak dua meter, tapi dalam hati terasa kayak berjarak dua ratus juta kilometer?"

"Apaan, sih?" dengkusku mengelak godaan konyol Kak Dirga.

Di balik kemudinya, Kak Dirga terkekeh geli. "Lo masih suka dia, Rish?"

"Enggak!" tukasku cepat.

"Enggak salah lagi maksudnya? Atau enggak mau ngaku?"

"Ngasal!"

Sumpah, ekspresi kakakku sekarang benar-benar menyebalkan.

"Kenapa sih cewek itu gengsinya tinggi banget?" Kak Dirga berkata dengan nada seolah sedang menanyakan question of life.

Aku mendengkus. Kutebak sebentar lagi dia akan mengeluarkan wejangan paginya. Kali ini temanya adalah cewek gengsian. Kakakku ini memang kadang bersikap sok tahu.

"Kenapa sih cewek itu selalu mau nyuruh cowok yang ngakuin perasaannya duluan? Harusnya kalau mereka suka, ya tinggal bilang. Kalau diterima alhamdulillah, kalau ditolak ya seenggaknya bisa ngerasa lega karena nggak bertanya-tanya sendiri sama isi hati cowok itu. Masalah clear. Nggak ribet dan nyiksa diri sendiri juga."

Tuh kan, dugaanku benar! Dia berkata seolah dia adalah pakar cinta.

Ucapan Kak Dirga tadi... Andaikan semudah itu! Kak Dirga bilang begitu karena dia juga berposisi bagai cowok. Dia nggak tahu betapa malunya cewek saat menyatakan cinta tapi berujung penolakan. Udah sakit hati, malu lagi! Hari-hari setelah pernyataan cinta yang tak sampai itu bagaikan di neraka. Meskipun aku belum pernah merasakannya, tapi aku sering mendengar cerita teman-teman sekelasku atau satu ekskulku, dan sebagai cewek mudah bagiku untuk memahami perasaan jenis itu.

"Kak Dirga bisa bilang gitu karena Kak Dirga cowok. Coba kalau cewek? Pikirin dong betapa malunya kalau sampai ditolak," aku pun mengungkapkan isi pikiranku mengenai hal ini.

"Nah, itu lah gunanya riset, Rish."

"Hah? Riset?"

"Iya. Sebelum nyatain perasaan, coba cari tahu sebentar tentang perasaannya. Liat perlakuannya, dan yang paling penting, liat tatapan matanya. As the wise man said, eyes are gateway to the soul. Mata juga jendela hati. Mata nggak bisa bohong."

Duh, rasanya geli banget mendengar kata-kata kayak begitu. Aku mana pernah bisa menebak isi hati seseorang berdasarkan tatapan matanya. Kemarin-kemarin aja jurusku untuk mengetahui isi hati Shanin nggak berhasil, apalagi ke Rakata. Mungkin aku harus kuliah psikologi dulu bertahun-tahun biar punya kemampuan membaca bahasa tubuh seseorang.

"As the wise man said juga, a man who wants to be with you will make an effort. A man who doesn't make an effort, doesn't want to be with you. As simple as that. Itu motto hidup gue sebagai cewek biar nggak salah langkah."

I Know You Miss MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang