05. Tatapan dan Ancaman

991 143 9
                                    

Chapter 5

Bel istirahat bunyinya selalu menyenangkan. Seperti kali ini, helaan napas penuh kelegaan langsung mengudara ketika suara bel menggema di seluruh sisi sekolah. Pak Idrus, guru matematika yang tengah mengajar di kelasku mengakhiri penjelasannya mengenai logaritma lalu berjalan meninggalkan kelas.

Kelas yang tadinya hening mendadak ribut ketika sosok paruh baya itu menghilang. Seisi kelas mulai sibuk sendiri. Dan seperti biasa, aku langsung menggandeng tangan Shanin untuk mengajaknya ke kantin.

Kantin lantai satu yang kami tuju adalah kantin yang dikuasai oleh anak kelas sepuluh dan sebelas. Oleh sebab itu, kantin ini terbilang ramai dibanding kantin lantai dua yang hanya dikuasai oleh kelas dua belas. Untungnya, ketika kami datang, masih ada beberapa meja yang tersisa yang bisa kami tempati.

Saat sedang memesan jus strawberry, tanpa sengaja mataku menangkap sosok Rakata yang duduk di bawah kursi berpayung merah yang berada di area luar alias outdoor. Area itu memang biasa digunakan anak-anak cowok untuk ngumpul.

Rakata sedang bersama teman-teman band-nya. Ada Bara yang memang satu kelas dengannya. Ada Ali, keyboardist yang merupakan siswa kelas XI IPS 2, dan juga Malik, drummer yang berasal dari kelas XI IPS 3.

Rakata tetaplah Rakata. Meski dia tampak kasual seperti biasa, kehadirannya tetap menghadirkan lirikan penasaran dari orang-orang sekitarnya, terutama para cewek. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dia sedang bersama cowok yang nggak kalah ganteng dan berbakat di bidang musik. Rakata dan teman-temannya menjadi squad yang membuat cewek-cewek menggila.

Aku dan Shanin duduk di salah satu meja panjang. Posisinya cukup dekat dengan tempat duduk berpayung yang ditempati Rakata dan anggota Alpha Band lainnya. Namun, seperti biasa, aku pura-pura nggak peduli.

Selagi menikmati jus, kami menunggu mie ayam yang kami pesan sebelumnya diantar.

"Nin, lo setuju nggak sih definisi move on itu adalah ketika kita sudah berhasil memaafkan dan melupakan seseorang?" tanyaku iseng karena teringat ucapan Kak Dirga semalam.

Shanin membetulkan letak kacamatanya dengan ujung jari. "Setuju. Kenapa memangnya?"

"Nggak, nanya aja, Nin," aku nyengir singkat.

Secara otomatis, mataku mengarah ke Rakata yang berada di arah jam sembilan. Itu beneran gerakan refleks, tanpa kurencanakan.

Cowok itu asyik menggobrol dengan teman-temannya sambil diselingi tawa. Melihat tawanya, entah kenapa aku merasa sebal. Mungkin ini karena faktor dia yang sudah berlagak jual mahal karena menolak diwawancarai terkait kebutuhan majalah.

Padahal apa susahnya sih cuma jawab beberapa pertanyaan? Terus ber-pose sebentar untuk difoto? Kurasa itu adalah sesuatu yang bisa dia lakukan kurang dari sepuluh menit.

"Lo udah maafin dan lupain Rakata, kan?" tanya Shanin tanpa mengalihkan perhatian dari jus strawberry-nya.

Nggak. Jawabku dalam hati. Kejadian di Licious Romance tiga bulan lalu masih bersemayam di benakku. Aku belum memaafkannya karena dia bahkan sama sekali nggak meminta maaf. Dan aku juga nggak mungkin bisa melupakannya.

Jadi, bisa dibilang, yang tak bisa kulupakan itu adalah kenangan menyakitkan yang pernah kulalui karenanya. Sedangkan kenangan manis selagi kami bersama, sudah lenyap entah kemana.

"Gue nggak suka lagi sama Rakata." Mungkin itu jawaban terjujur yang bisa kuucapkan sekarang.

Shanin memandangku lalu tersenyum tipis. "Gue nggak akan pernah bosen ngomong ini. Lo layak dapetin yang lebih dari Rakata, Rish."

I Know You Miss MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang