Gita menatap tajam Chika saat gadis itu tak sengaja berpapasan dengannya, seolah menyuruh gadis itu untuk menyingkir. Namun, Chika tidak bergeming dan malah menatap balik Gita dengan tatapan yang tak kalah sengit.
"Minggir!" Ucap Gita yang memang selalu ingin mencari masalah dengan saudari tirinya itu.
"Jalanan lebar, ngapain kamu mepet-mepet," Chika melipat tangannya di depan dada.
"Maksud kamu apa? Kamu mau bilang aku sengaja mepet-mepet kamu? Aku sengaja ngikutin kamu, gitu? Hey! Stop, ya, Yessica! Di sini, kamu tuh cuma bayangan. Seluruh dunia juga udah tau kalo kamu itu cuma bisa jadi bayang-bayang aku. Bahkan kalau kamu hilang sekalipun, gak akan ada orang yang akan kehilangan, karena emang gak ada yang peduli sama kamu. Jadi, jangan sok tinggi deh. Dasar, anak haram!"
Chika mendongak dengan wajah dingin, ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh Gita. "Roda selalu berputar, Gita. Begitu juga dengan kehidupan. Saat ini mungkin kamu sedang ada di atas, tapi ingat, suatu saat kamu juga pasti akan ada di bawah. Dan jika hari itu tiba, akan ku pastikan gak akan ada seorangpun yang akan peduli padamu."
"Hahaha.. terserah kamu aja deh! Kamu tunggu aja hari itu sendirian. Tapi, akan ku pastikan hari itu gak akan pernah terjadi. Karena mau sampai kapanpun, seorang Gita Rabe Natio akan selalu berada di atas. Paham?" Gita pun melanjutkan langkahnya, namun ia dengan sengaja menabrak pundak Chika menggunakan bahunya hingga membuat tubuh Chika sedikit oleng ke samping.
Chika sempat menoleh ke arah Gita yang sudah melewatinya, tangannya terkepal sempurna menatap kepergian saudari tirinya itu. Tatapan kebencian jelas sekali terlihat di wajahnya.
Sementara itu, Fiony yang sedari tadi mendengar percakapan 'manis' kakak beradik itu tak bergeming, ia hanya merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia dulu harus menunda kuliahnya hingga sekarang harus terjebak berada di kelas yang sama dengan duo Natio pembuat masalah itu.
Seandainya saja perusahaan ayahnya dulu tidak bangkrut, Fiony pasti sekarang tinggal menikmati semester akhir kuliahnya bersama Cio.
.
.
.
Malam harinya, Gita mengendap-endap ketika memasuki pekarangan rumahnya. Ia memang sengaja turun di depan gerbang dan membiarkan Rey membawa mobilnya.
"Selamat malam, Non." sapa salah seorang penjaga keamanan rumah.
"Sstt.. Mang Udin, jangan berisik. Nanti Ci Shani denger,"
"Oh, maaf, Non. Tapi Non Shani udah nungguin non Gita dari tadi. Kata non Shani, non Gita suruh langsung ke kamarnya setelah pulang,"
"Aduh, mati aku," Gita mendengus saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 21 lewat 45 menit. Bukan waktu yang terlalu larut memang, tapi memang seperti itu kesepakatan yang terjadi antara dirinya dan kakaknya. Shani tidak akan membiarkan Gita berada di luar rumah lebih dari jam 9 malam.
"Duh, gimana ini, Mang. Semoga Ci Shani ketiduran," gumam Gita sembari kembali melanjutkan langkahnya. Suasana sudah sepi karna para maid sudah kembali ke kamar mereka masing-masing guna mengistirahatkan diri. Keluarga Natio memang tidak terlalu menekan para pekerjanya untuk selalu standby setiap saat, hal itulah yang membuat mereka begitu disayangi para pelayan dirumah ini.
Gita masuk secara perlahan ke dalam rumah, 'Untung aja papa belum balik dari Ausi,' gumam Gita dalam hati. Tak ingin tertangkap basah oleh sang kakak, Gita memilih naik lift saja untuk menuju kamarnya. Rumah mewah berlantai tiga ini memang sudah difasilitasi lift di dalamnya, namun baik Gita dan yang lainnya justru jarang menggunakan lift jika tidak dalam kondisi mendesak. Jika menggunakan tangga, Gita harus melewati kamar Shani lebih dulu sebelum sampai pada kamarnya, karena itulah kali ini Gita lebih memilih menggunakan lift karena tak ingin tertangkap basah oleh sang kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Breath
FanfictionGita harus merasakan pahitnya kehidupan setelah kakak yang selalu ia andalkan hilang entah kemana. bukan hanya kehilangan sang kakak, Gita juga harus merelakan kekasih, sahabat, serta semua kemewahan yang ia miliki karena ulah seseorang. "Bertahanl...