"Aku Ariel. Mereka biasa manggil aku dengan sebutan Mpok Eril." ujar seorang wanita dewasa dengan perawakan yang tidak terlalu tinggi. Perempuan itu mensejajarkan tubuhnya pada si lawan bicara, lalu mengulurkan tangannya di depan wajah gadis yang masih menatapnya tak bergeming.
Merasa tak di sambut, perempuan itu menarik tangan si gadis untuk dijabatkan dengan tangannya, lalu tersenyum tulus pada si gadis. Si gadis yang tak lain adalah Gita Rabe Natio hanya diam memerhatikan perempuan tersebut yang sekarang terlihat mendudukkan diri di sampingnya. Gita yang pagi itu kembali duduk di atas lantai marmer ruang rawatnya hanya diam membiarkan perempuan itu melakukan apa yang ingin dia lakukan.
Selain tiba-tiba nyelonong masuk ke dalam kamar rawat Gita, perempuan yang terlihat tengah menggendong sebuah boneka itu juga lancang memakan buah apel yang ada di atas nakas. Wajah tanpa dosanya terlihat sangat senang ketika mengunyah buah tersebut.
"Kamu mau?" Tanyanya pada Gita yang sama sekali tak digubris. Gadis itu masih menatap heran pada perempuan tersebut.
"Ya udah kalo nggak mau," Ariel kembali meneruskan mengunyah apel tersebut dengan riang. "Roy mau?" Pertanyaan itu kini ditujukan untuk si boneka yang ia perlakuan layaknya bayi. "Roy juga nggak mau. Ya udah, mama juga nggak jadi makan ah." Perempuan bernama Ariel itu meletakkan kembali apel yang sudah ia gigit pada wadahnya. Lalu fokusnya kembali pada boneka yang kini berada di pangkuannya.
"Roy bobok dulu, ya. Nanti nen lagi." Ujar perempuan itu pada bonekanya, lalu bersenandung sambil menepuk-nepuk pelan pundak bonekanya untuk ia tidurkan.
Tak ingin kewarasannya ikut terganggu, Gita mengalihkan lagi perhatiannya dari perempuan itu dan lebih memilih menatap pada luaran pintu ruang rawatnya yang terbuka. Dua anak buah Ve yang biasa berjaga tidak terlihat di depan sana.
"Nasibku itu sama seperti kamu, Gita. Tapi bedanya, aku justru lebih suka berada di tempat ini," ucapan Ariel berhasil mengambil kembali atensi Gita. Sekali lagi gadis itu menoleh pada Ariel yang kini tersenyum tulus padanya.
"Aku adalah orang yang meminta suster Feni untuk mengecek obat apa yang mereka berikan padamu." Gita mengepalkan tangannya mendengar penuturan Ariel.
"Manusia sangat kejam, ya. Mereka sanggup melakukan apapun asalkan keinginan mereka terpenuhi. Kamu tau, aku kehilangan bayiku karena ulah mereka, tapi, mereka jugalah yang membuat aku terkurung di tempat ini. Sama seperti kamu, awalnya aku sangat tertekan dan shock ketika baru masuk ke tempat ini. Namun, lama kelamaan aku justru merasa nyaman berada di sini. Aku nggak mau kembali ke rumah. Karena bagiku, berada di rumah seperti berada di neraka."
Gita masih menyimak, tapi dia tidak berkomentar sedikitpun. Rasanya ingin berteriak marah, tapi itu hanya akan semakin memperburuk perlakuan mereka padanya.
"Coba sekarang kamu liat mereka!" Tunjuk Ariel pada dua orang pasien yang sejak tadi kejar-kejaran bolak balik di depan ruang rawat Gita. Gita pun mengikuti arah tunjuk Ariel.
"Kenapa orang-orang seperti mereka selalu terlihat bahagia?" Gita masih diam saja, tidak tahu juga harus menjawab apa. "Ya karena mereka sudah tidak punya beban. Mereka hanya membiarkan hidup mengalir mengikuti arusnya."
Gita mengernyit. 'apa aku harus beneran jadi orang gila untuk bisa bahagia?' batin Gita.
Ariel tertawa melihat ekspresi Gita. Sepertinya dia mengerti arti dari ekspresi wajah itu.
"Bukan gitu," ujar Ariel sambil terkekeh, "maksudku tuh ya, manusia akan selalu bahagia jika tidak mempunyai beban. Dan aku belajar dari semua itu. Aku tidak menganggap masalah yang aku hadapi sebagai beban. Justru aku menjadikan masalah tersebut sebagai pengalaman hidup." Ujarnya yang langsung dapat dipahami oleh Gita. Gadis itu menatap sendu pada Ariel dengan mata berkaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Breath
FanfictionGita harus merasakan pahitnya kehidupan setelah kakak yang selalu ia andalkan hilang entah kemana. bukan hanya kehilangan sang kakak, Gita juga harus merelakan kekasih, sahabat, serta semua kemewahan yang ia miliki karena ulah seseorang. "Bertahanl...