Ep 5

732 70 25
                                    

Suasana duka menyelimuti pemakaman President Direktur Natio Group hari itu. Ratusan papan bunga bertuliskan turut berduka cita berjejer rapih sepanjang jalan menuju kediaman megah keluarga Natio. Menandakan betapa tersohornya seorang Dimas Rabe Natio di kalangan masyarakat.

Jet pribadi yang akan membawa Dimas ke Singapura gagal take off hingga akhirnya menabrak pagar pembatas dengan cukup keras dan menyebabkan kebakaran hebat. Tidak ada yang selamat dalam insiden tersebut karena api cepat merambat dan membakar hampir seluruh body pesawat.

Pemakaman telah selesai dilaksanakan. Namun masih banyak tamu yang hadir di kediaman megah Natio hanya sekedar untuk mengucapkan kalimat belasungkawa.

Si sulung Shani sudah terlihat lebih tegar jika dibandingkan adiknya yang sempat beberapa kali tak sadarkan diri ketika berada di pemakaman tadi. Apalagi ketika jasad papanya dikebumikan, Gita terus menangis hingga membuatnya lagi-dan-lagi kembali tidak sadarkan diri.

Gita  benar-benar terpukul atas kematian papanya. Pasalnya, yang Gita tahu ayahnya pergi dalam keadaan tengah marah padanya, pun dengan perasaan kecewa karena perbuatannya semalam. Meskipun tidak semua yang di tuduhkan padanya adalah benar, tapi tetap saja papanya pergi meninggalkannya dengan membawa perasaan kecewa padanya.

Bukan hanya Shani dan Gita yang terpukul atas kematian Dimas. Ve dan Chika juga merasakan hal yang sama. Chika sangat terpukul atas kepergian papanya. Pasalnya, sang ayah punya keinginan terakhir yang sempat disampaikan padanya sebelum kecelakaan itu terjadi.

Keduanya juga sampai saat ini masih berada di kediaman megah Natio. Ve yang selalu menyambut para pelayat yang berasal dari para pemegang saham ataupun para karyawan kantornya karena Shani belum kembali dari makam. Sedangkan Gita berada di kamar karena terus-terusan tak sadarkan diri. Gita tidak sendiri, ada Rey, Eli, Dey dan juga Muthe yang menemaninya sejak pagi. Mereka juga yang membawa Gita kembali ke rumah setelah tak sadarkan diri di tempat pemakaman tadi.

Gita membuka matanya saat merasakan belaian lembut pada surai panjangnya. Senyum Rey adalah hal pertama yang Gita lihat. Lagi-lagi Gita kembali menangis, Ia menghambur dalam pelukan Rey.

"Papa aku udah nggak ada, Rey. Aku udah nggak punya papa lagi." Ucapnya dalam tangis.

Rey tak punya kalimat penenang apapun untuk Gita. Yang ia lakukan hanya tetap memeluknya dan mengelus-elus punggungnya guna memberi ketenangan.

"Papa jahat, Rey. Papa ninggalin aku tanpa minta maaf dulu ke aku. Tapi biarpun gitu, aku nggak benci sama papa. Aku bilang benci cuman pura-pura aja biar papa nggak jadi marah sama aku. Ta-tapi papa malah marah beneran sama aku dan sekarang papa nggak mau balik lagi," ucapnya terbata-bata karena menangis.

Shani yang baru kembali dari makam tak sanggup mendengar tangisan Gita. Ia memilih untuk meninggalkan kamar adiknya itu padahal dirinya belum sempat memasukinya.

Keesokan harinya Gita terpaksa harus diinfus karena menolak memakan makanan apapun, termaksud air putih sekalipun. Tubuhnya lemas karena kekurangan cairan hingga harus di infus.

Di sana, Bik Minah lah yang setia menemani, memijit kakinya, hingga membaluri tubuh nona mudanya itu dengan minyak kayu putih.

"Gimana keadaan Gita, Bik?" Tanya Shani setelah memasuki kamar Gita.

"Udah mendingan, non. Tadi udah mau makan bubur meskipun cuman sedikit."

Shani duduk di sebuah kursi dekat ranjang Gita. Di elusnya wajah sang adik yang terlihat pucat.

"Dek, makan, ya? Cici yang suapin." Gita enggan menjawab. Ia justru memalingkan wajah menghindari Shani.

"Kamu tuh harus makan. Kamu harus tetap sehat. Kalo kamu sakit, gimana ama Cici? Kamu tega ninggalin Ci Shani sendirian?" Gita lantas menoleh ke arah Shani, lalu menggeleng cepat.

Deep Breath Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang