Gita duduk berselonjor di lantai dingin rumah sakit jiwa tempat dirinya dirawat saat ini, kepala dan badannya Ia sandarkan pada dinding ruangan. Matanya sendu, menatap kosong pada pintu yang tertutup.
Sudah lebih dari dua minggu Gita berada di tempat ini. Dalam hati Ia menertawai takdir yang kejam ini. Kenapa begini? Kenapa bisa sampai seperti ini? mungkin itu adalah salah satu dari berjuta tanya yang terlintas dalam benaknya saat ini.
Bukan hanya dimasukkan secara paksa ke tempat ini, Gadis malang itu juga terus dicekoki dengan obat-obatan yang dapat membuatnya berhalusinasi. Di minggu pertama kedatangannya saja, Gita terus mengamuk seperti orang yang kehilangan akal sehat hingga membuat dokter dan perawat kuwalahan. Satu-satunya tindakan yang diambil sang dokter hanyalah memberi gadis itu suntikkan penenang. Kejam memang, mereka yang membuat Gita mengamuk mereka pula yang memberi penenang.
Setetes air mata kembali jatuh melewati pipinya, buru-buru Gita menyekanya menggunakan punggung tangan.
Ucapan Ve beberapa hari lalu masih terekam jelas dalam ingatannya. Gita tahu Ve berbohong. Gadis itu tahu betapa Ve sangat menyayangi Shani. Tidak mungkin 'kan kalau dia sampai tega membunuh Shani hanya karena kesalahan adiknya?
Seorang perawat membuka pintu kamarnya sambil membawa nampan yang berisi sarapan pagi untuknya.
"Waktunya makan dan minum obat," Ucap sang perawat dengan senyum lembut. Gita masih tak bergeming menatap nanar pada pintu yang tak lagi di tutup. Si perawat membiarkannya terbuka agar Gita dapat melihat ke luar ruangan.
Sang perawat mendekat dan meletakan food tray serta segelas minum di atas nakas di dekat ranjang Gita, kemudian mendekat pada Gita yang masih setia pada tempatnya.
"Gita, makan, yuk. Kamu harus kuat biar bisa keluar dari sini." Ucap si perawat yang masih saja dicueki Gita.
Merasa tak mendapat respon, si perawat pun berjongkok di depan Gita guna menyamakan posisi mereka.
"Aku tau kamu nggak sama kayak mereka," ujar si perawat sambil menggenggam tangan Gita. Tentu saja ucapan si perawat membuat Gita terkejut dan segera menoleh ke arahnya.
"Orang-orang yang menjagamu di depan, aku melihat salah satu dari mereka berbicara pada dokter Andre. Mereka yang udah nyuruh dokter Andre untuk ngasih kamu obat yang bikin kamu makin kacau."
Memang benar Ve menugaskan 2 orang anak buahnya untuk berjaga di sini karena Ve tidak mau jika sampai Gita kabur dari tempat ini. Untung saja dua orang penjaga itu sedang berada lumayan jauh dari pintu rawat Gita sehingga mereka tidak bisa mendengar ucapan si perawat.
Gita hendak menjawab ucapan suster bernama Feni Fitriyanti tersebut, namun bibirnya terasa kelu meski hanya sekedar untuk dibuka.
Si suster meraih tisu di atas nakas, kemudian mulai membersihkan kedua tangan Gita dengan tisu basah tersebut, "tapi kamu nggak usah kuatir, aku sudah menukar kembali obatnya." Ujarnya masih nampak serius dengan tangan Gita. Hal ini sengaja ia lakukan agar tidak membuat anak buah Ve curiga padanya.
"Maaf, aku nggak pernah ngecek jenis obat apa yang mereka kasih ke kamu."
"Jujur, awalnya aku pikir kamu itu sama kayak pasien-pasien lain di rumah sakit ini. Sampai akhirnya ada seorang yang memberitahu aku tentang kamu."
'siapa?' tanya Gita dalam hati. Ia mengangkat wajahnya ke arah si perawat seolah bertanya, namun entah kenapa pertanyaan itu enggan keluar dari mulutnya.
Feni memang salah satu perawat senior di rumah sakit ini. Ia Bekerja di rumah sakit ini sudah lebih dari 10 tahun. Feni sudah sering bertemu pasien dengan aneka gangguan kejiwaan. Namun pada sosok Gita, ia memang sempat merasa ada kejanggalan. Namun si dokter yang menangani gadis itu selalu meyakinkan Feni jika Gita sangat agresif dan sering mengamuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep Breath
FanfictionGita harus merasakan pahitnya kehidupan setelah kakak yang selalu ia andalkan hilang entah kemana. bukan hanya kehilangan sang kakak, Gita juga harus merelakan kekasih, sahabat, serta semua kemewahan yang ia miliki karena ulah seseorang. "Bertahanl...