-Ⴆαɠιαɳ ƙҽƚιɠα

352 50 11
                                    

˚₊·͟͟͟͟͟͟͞͞͞͞͞͞➳❥ ꒰ ⌨ ✰ V e e ⁱˢ ᵗʸᵖⁱⁿᵍ··· ꒱ | ೃ࿔₊•
.
.

“Puas lo main-main? Pulang sore belajar enggak duit abis. Bener-bener nggak tau diuntung. ”

Padahal, Duri baru saja pulang dari rumah Fang. Bahkan sepatunya belum dilepas. Halilintar bersidekap dada didepan pintu, menatap Duri dengan tajam sedangkan dibelakang Halilintar ada Blaze dan Taufan yang tertawa sinis kearahnya.

“Gue tanya puas lo main?!. Sampe nggak inget waktu?!. ”

Duri menunduk, seluruh tubuhnya bergetar.

“Duri nggak main kak, Duri ker—”

“Kerja kelompok?! Pinter banget lo boong. ”

Duri menarik nafas pelan. Dadanya terasa sesak, kepalanya terasa pusing.

—plak. Suara tamparan keras mampu menghentikan tawa Blaze dan Taufan. Keduanya menatap kejadian tersebut dalam diam.

Wajah Duri tertoleh kesamping, rasa perih dan panas menjadi satu. Tamparan yang diberikan oleh Halilintar tak main-main kuatnya—rasanya kaya tamparan ayah.

Sudut bibir anak itu robek. Darah mengalir tanpa permisi, turun kedagu anak itu.

Kedua manik emerlad Duri berkaca-kaca. Belum rasa sakit dikepalanya ditambah dengan luka disudut bibirnya.

Duri kembali menunduk dalam diam. Tak berniat mengangkat suara, ia enggan bahkan amat senggan menatap manik ruby Halilintar yang begitu menusuk.

“Maaf kak.. ”

Ice dan Gempa yang sebelumnya berada didapur mendengar keributan berjalan menghampiri.

“Sore-sore masih ribut. Ngapain sih nggak ada kerjaan banget. ” Ice menatap datar keempat saudaranya. Lalu tatapannya jatuh pada Duri yang sedang menunduk, yang paling mencuri perhatiannya adalah darah yang terus menetes kelantai.

“Dur—”

“Rasanya sama seperti tamparan ayah.. ” Duri bergumam lirih. Ia mengangkat wajahnya memperlihatkan darah yang keluar dari sudut bibir dan hidungnya, wajahnya juga memang sudah pucat akhir-akhir ini.

Kenapa tatapannya sangat kosong?. Batin mereka. Kelimanya diam tersentak ketika mendengar kata 'tampar' dan 'ayah'.

“... ”

Seisi kamarnya berantakan Duri duduk dilantai diantara buku-buku yang berserakan, diantara pil obat yang berceceran, diantara tisu penuh darah, diantara keheningan malam.

Cutter sepanjang tujuh centimeter diraih dengan pelan, ia menatap benda itu dengan nanar. Lalu mengarahkannya pada pergelangan tangan kiri.

Satu goresan darah mulai keluar.

Lima goresan aliran darah tercipta sempurna.

Sepuluh goresan, mengalirkan darah dengan begitu candu.

Ia kemudian membanting benda tajam itu kesembarang arah. Ia melihat sekeliling kamar kemudian menghela nafas “Aku harus ngeberesin ini nanti. ”

Tubuhnya limbung kesamping, matanya mulai tertutup perlahan. —duri tidak sadarkan diri.

“... ”

Duri perlahan membuka matanya. Lalu menerjap beberapa kali. Sudah berapa lama ia tak sadarkan diri?

Kepalanya terasa pusing. Meski begitu ia mencoaba bangun, jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Biasanya dijam itu lah Duri baru bisa menutup matanya karna belajar 10 jam lebih. Namun tidak dengan hari ini, akibat tak sadarkan diri ia jadi tak memiliki waktu untuk mengulas kembali pelajaran hari ini. Walau sebenarnya, saat dirumah Fang ia lebih banyak belajar dengan anak jenius itu.

sɪᴀ-sɪᴀ[ᴇɴᴅ]LPH[OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang