-Ⴆαɠιαɳ ρҽɾƚαɱα

736 62 0
                                    

˚₊·͟͟͟͟͟͟͞͞͞͞͞͞➳❥ ꒰ ⌨ ✰ Vee ⁱˢ ᵗʸᵖⁱⁿᵍ··· ꒱ | ೃ࿔₊•
.
.

Buku bersampul coklat itu dilempar dengan kencang keatas meja oleh Halilintar. Duri hanya mampu menunduk takut, jemari mungilnya saling bertaut dengan keadaan gemetar ketakutan.

“Lo enggak pernah bisa kaya Solar ya?. ”

Ucap Halilintar tegas. Duri tetep diam, lidahnya terasa kelu untuk berbicara.

“Solar pinter. Lo bukan cuman enggak bisa kaya Solar, lo juga ternyata enggak bisa kaya mereka.

“Maaf kak.. ”

Halilintar berdecak kesal, kedua tangannya dilipat didepan dada.

“Gue enggak butuh maaf lo, gue, Gempa, sama Solar selalu dapet peringkat atas. Blaze, taufan, dan Ice selalu masuk 10 besar. Dan lo? apa yang lo bisa raih Duri?! ”

Duri tau, Duri paham. Halilintar—kakak pertamanya. Tak perlu repot-repot mengatakannya. Duri mengerti se'buruk apa dirinya dalam bidang akademik. Karna nyatanya sekeras apapun Duri berusaha, 10 jam pun Duri bergelut bersama buku-bukunya, ia masih saja selalu mendapat nilai f.

“Duri, udah berusaha kak. ” gumannya lirih. Namun sepertinya Halilintar masih dapat dengan jelas mendengarnya.

“Kalo gitu berusaha lebih keras Duri!. ” bentaknya. Duri refleks menutup matanya dengan cepat ketika Halilintar membentaknya. Kedua bahu kecilnya bergetar dengan hebat.

“Gue mau semester depan lo masuk 5 besar. Kalo enggak, gue bakal bilang sama ayah dan ibu biar lo berenti dibiayain. Paham?. ”

Duri menganggukan kepala takut-takut. Halilintar menghembuskan nafas kasar, ia meraih buku Duri—yang sempat ia lempar keatas meja. Ia memberikan buku tersebut pada sipemilik dengan kasar. Dan dengan sigap Duri memeluk bukunya didepan dada.

Tatapan tajam Halilintar seolah mengancam bagi Duri anak itu kemudian kembali memunduk saat dirasa lengan atasnya dicengkram bahkan diremas kuat oleh Halilintar.

“Berhenti jadi bego, sialan!. ” bisiknya dengan dingin. Duri mengangguk cepat, saat Halilintar melepaskan tanganya Duri dengan cepat berlari keatas menuju kamarnya yang berada dilantai dua.

Halilintar memandang punggung kecil Duri yang semakin mengecil termakan jarak. Laki-laki itu memasukan kedua tangannya kedalam saku celana saat dirasa suara motor memasuki halaman.

“... ”

Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, namun disalah satu kamar dengan nuansa hijau itu masih terasa ramai. Pintunya yang dikunci dengan rapat dari dalam oleh sipemilik tak akan membuat orang lain sadar, akan betapa berisik dan ramainya didalam sana.

Meski sudah mencoba mengingat beberapa kali, menghafal, membaca, dan mencoba memahami pada akhirnya Duri tetap tak bisa. Ditemani kajian-kajian ulang semua pembelajaran melalui laptop nya, handphone, dan buku catatannya.

Duri mengacak rambutnya dengan frustasi. Bahkan ia belum sempat memasukan apa-apa kedalam perutnya sehabis pulang sekolah. Ia melewatkan makan siang dan malam. Duri merasa semuanya terlalu sia-sia, nyatanya ia tidak mampu.

Ia memunduk saat merasa cairan mengalir dari hidungnya, jatuh berceceran keatas buku catatan. Darah. Ia kemudian mengerang kecil. Kepalanya terasa amat sakit. Ia meraih kotak tisu yang berada tak jauh dari buku-bukunya, seolah sudah terbiasa Duri mengelap hidungnya sampai dirasa darah sudah mulai berhenti mengalir.

sɪᴀ-sɪᴀ[ᴇɴᴅ]LPH[OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang