Bab 4

96 14 4
                                    

Hari ini Jenan lebih fokus belajar di banding hari hari kemarin. Entah ada apa, rasanya Jenan sedikit lega setelah kejadian semalam dimana dirinya di jemput oleh Haidar membuat Jenan sadar kalau seingin inginnya mereka buat Jenan mandiri, mereka tetap sangat menyayangi Jenan.

Tapi satu hal yang Jenan takutkan. Sebentar lagi, Haidar akan kelulusan yang dimana otomatis Jenan tak akan bisa bertemu Haidar lagi di sekolah. Sedih sekali bukan ketika berpisah dengan sang kakak.

Terkadang Jenan bertanya tanya kenapa sejak kecil dirinya selalu di biasakan tumbuh dengan kasih sayang tanpa adanya tekanan, bentakan dan apapun itu. Jenan juga sering bertanya pada teman temannya, tapi mereka malah selalu di marahi kalau berbuat salah.

Jenan juga di marahi si, tapi tata cara orang tuanya memarahi Jenan itu sangat berbeda dengan orang tua yang lain. Mereka lebih tegas, tapi orang tua dan Abang Jenan lebih menasihati dengan cara lembut.

Jadi mungkin ini yang membuat Jenan sudah hidup mandiri setelah dewasa sekarang ini.

Jenan sekarang sedang bersiap untuk ke kantin. Hari ini satu temannya, Rakeal tidak masuk karena sakit. Jadi Jenan akan makan bersama Juavel saja setelahnya bermain basket sebentar di lapangan.

Jenan tak berhenti menatap ke arah lapangan. Ia mengamati anak anak yang sedang bermain basket. Mata Jenan menyipit saat melihat sosok yang ia kenal.

Jenan lantas menarik Juavel dan berlari ke kantin segera sebelum orang itu melihat Jenan.

"Lo kenapa?" Tanya Juavel.

"Ada bang Daniel. Gue lagi enggak mau berurusan dulu. Enggak tau gue, tapi badan gue lagi enggak mood ngapa-ngapain" jelas Jenan membuat Juavel mengangguk.

Juavel memilih kursi yang kosong di ujung diikuti Jenan.

"Gue pengen banget ngerasain di bentak," ucap Jenan.

"Lah anjir. Emang Lo enggak pernah?" Tanya Juavel heran.

Jenan menggeleng membuat Juavel melotot.

"Sumpah?"

Jenan mengangguk.

"Cok. Manusia mana yang enggak pernah di bentak, mustahil kali ah"

Jenan menatap sahabatnya. "Tapi serius, Ju. Gue beneran enggak pernah ngerasain di bentak. Kalo pun gue bikin kesalahan, mereka nasihatin gue dengan cara lembut selembut sutra, anjay canda. Tapi itu beneran" jelas Jenan dengan memberi candaan sedikit.

"Mungkin ada sesuatu yang orang tua atau Abang Lo sembunyiin?" Ucap Juavel sedikit heran dengan perkataannya barusan.

"Semacam?" Tanya Jenan.

Juavel tampak berpikir. "Entah, mungkin ada yang spesial dari Lo makannya Lo enggak pernah ngerasain di bentak" jawab Juavel menjelaskan membuat Jenan terdiam.

"Coba Lo nanti tanya tanya ke Abang Lo" titah Juavel.

"Tanya gimana?"

"Ya, tanya. Tanya aja kenapa Lo enggak pernah di bentak atau bahkan ya gitu lah, tanya terus sampe mampus. Liat reaksi Abang Lo, kalo dia marah apa dia bentak Lo atau enggak" jelas Juavel membuat Jenan mengangguk.

"Anjayy, bagus juga ide Lo. Boleh tuh"

-o0o-

Hari ini Jenan sudah keluar kelas, ia memilih menunggu Haidar selesai kelas di bawah pohon rindang sambil memainkan ponselnya.

Jenan bermain game di ponselnya sebentar. Tapi seketika, ia teringat sesuatu apa yang di katakan Juavel.

"Entah, mungkin ada yang spesial dari Lo makannya Lo enggak pernah ngerasain di bentak"

Benar juga yang di katakan Juavel. Ada baiknya, Jenan bertanya, tapi Jenan sangat takut dengan respon kakak nya.

Puk.

Jenan menoleh, ternyata Haidar sudah berdiri di belakangnya. Lantas Jenan berdiri, ia menatap Haidar.

"Ke tempat semalam dulu boleh, bang? Adek mau ketemu sama kakek itu lagi, kebetulan adek beli makanan tadi" ucap Jenan sembari menunjukkan kantong kresek di tangannya.

Haidar tersenyum dan mengangguk. "Iya, tunggu di halte gih. Abang ambil mobil dulu di parkiran"

"Laksanakan!"

Haidar terkekeh melihat adiknya. Menurut Haidar, Jenan ini benar benar lucu. Padahal Jenan laki laki dan umurnya sudah cukup dewasa, tapi kelakuan masih seperti anak anak apalagi wajahnya yang baby face itu membuat siapapun akan merasa gemas dengan anak itu.

Terkadang ketika adiknya melakukan kesalahan, Haidar selalu ingin memarahinya. Tapi, mengingat pesan orang tuanya untuk tidak membentak apalagi mengabaikan adiknya, Haidar selalu mengurungkan niatnya sampai sampai sekarang pun Haidar tidak bisa marah.

Jenan. Sejak lahir, Jenan menjadi sosok yang selalu di jaga bahkan di perhatikan oleh orang tuanya. Dimana saat Haidar berumur 12 tahun dan Jenan 10 tahun, Haidar pernah merasa iri dengan adiknya karena selalu di sayang.

Tapi setelah mendengar alasannya, Haidar ikut sedih bahkan ia berjanji untuk tidak melukai adiknya.

Saat ini, keduanya akan menuju tempat dimana kakek yang Jenan temui semalam berada. Sepanjang jalan Jenan selalu menatap ke luar jendela menikmati perjalanan, tanpa Jenan sadari Haidar memperhatikannya.

Jenan sadar kalau dirinya di perhatikan, ia lantas menatap Haidar. "Adek boleh tanya?" Tanya Jenan membuat Haidar berdehem.

"Kenapa Abang, mama sama papa enggak pernah bentak adek?" Tanya nya. "Ngeliat temen temen adek semuanya kalo ngelakuin kesalahan selalu di marahin, tapi Abang, mama sama papa beda" lanjutnya menjelaskan.

Haidar terkekeh mendengarnya. "Jadi kamu maunya di marahin?" Tanya balik Haidar membuat Jenan menggeleng.

"Enggak si, tapi adek beneran bingung aja"

Haidar tersenyum. "Umur berapa adek sekarang?" Tanya Haidar.

"Mungkin 16 kayaknya" jawabnya sembari menghitung menggunakan jari.

"Abang bakal kasih tau kalo mama sama papa setuju" jelas Haidar membuat Jenan mengernyit.

"Kok Abang mainnya rahasiaan sama adek? Abang enggak asik!" Seru Jenan.

"Adek bakal tau kalo mama sama papa udah setuju. Udah nyampe, turun gih. Tuh liat, kakek sama anak kecilnya lagi duduk" tunjuk Haidar ke luar jendela.

"Tapi Abang janji ya, kalo mama sama papa udah setuju, Abang harus kasih tau adek!"

Haidar terkekeh. "Iya. Sana, Abang tunggu disini aja ya"

"Oke!"

Jenan turun dari mobil dan berlari ke arah si kakek membuat Haidar tersenyum tipis menatap adiknya.

"Kamu harus sehat, dek."

Dari jauh, anak kecil tersebut terlihat tertawa dan senang akan kedatangan Jenan.

"KAK NANA!"

Jenan berlari menerima pelukan anak kecil tersebut.

"Kak Nana nepatin janji!" Seru si kecil.

"Nana?"

Anak kecil itu mengangguk. "Hehe iya! Kak Nana panggilan dari Eon!"

Jenan terkekeh, ia mengusak lembut surai anak kecil tersebut.

"Nama kamu Eon?"

"Reon. Nama aku Reon!" Jawabnya berseru.

"Namanya lucu banget si, ayo kita ke kakek!" Ajak Jenan.

Keduanya berjalan dengan Reon yang menggenggam jari telunjuk Jenan.

"Nak Jenan kembali? Terima kasih sudah menepati janji ya, nak" ucap kakek tersebut.

Jenan tersenyum. "Jenan kali ini bawa banyak makanan buat kakek sama Reon makan sampe malam nanti. Besok, Jenan sering sering kesini, ya kek" jelasnya membuat sang kakek terharu.

"Nak Jenan baik sekali, semoga sehat terus ya nak"

"Iya kakek, terima kasih ya"

TBC

Jenan Dan Lukanya [SELESAI] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang