Bab 17

64 5 0
                                    

Jenan membuka matanya, menetralkan penglihatannya dan menyesuaikan cahaya yang masuk melalui kelopak matanya.

Jenan menghela nafas panjang. Balik lagi kesini? Jenan sebenarnya lelah terus bolak balik rumah sakit. Jenan menatap tangannya yang tertancap infus. Ia tersenyum tipis.

"AKHIRNYA BOCAH INGUSAN SADAR JUGA!"

"ABANG ITU KASIAN ADEK MU KEJEPIT, BADAN BONGSOR GITU!"

Jenan tersenyum tipis. Ia meremat kuat dadanya saat mengingat momen tersebut. Entah rasanya sesak saat mengingat momen tersebut membuat Jenan tidak tenang.

"Adek?"

Jenan beralih menatap ke arah pintu, melihat Laura yang berdiri di ambang pintu sembari menenteng plastik hitam di tangannya.

Laura berjalan menghampiri Jenan, menaruh plastik itu di nakas.

"Kenapa enggak panggil bibi?" Tanya Laura.

Jenan tersenyum tipis. "Aku enggak papa kok, bi. Besok aku sekolah ya? Udah baikan kok," ucap Jenan meyakinkan Laura.

Laura terdiam. Entah ia merasa aneh dengan cara bicara Jenan. Aku. Kata itu yang sangat asing bagi Laura karena biasanya Jenan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan adek dan bukan aku.

"Tapi—"

"Beneran enggak papa deh. Bibi percaya sama aku kan?" Tanya Jenan berusaha meyakinkan Laura.

"Oke. Tapi hari ini jangan ke luar rumah dulu dan istirahat ya. Tadi Abang Sam izin ke bibi kalo mereka pulang lebih dulu karena ada acara bareng keluarga besar nya," jelas Laura membuat Jenan mengangguk.

"Yaudah, yuk pulang!"

-o0o-

Daniel menatap langit yang cukup cerah. Setelah wisuda tadi, ia mampir sejenak di taman. Mengingat ia menyaksikan bagaimana Jenan anak yang selalu ia rundung hadir di acara wisuda bahkan anak itu membawa foto kakak nya.

Daniel tersenyum tipis saat teringat momen dimana dirinya juga melakukan hal yang sama pada wisuda adiknya dulu.

Tap.

Tap.

Daniel menoleh, mendapati Jenan yang ikut duduk di sampingnya. Jenan melirik Daniel, tersenyum pada Daniel.

"Harusnya kemarin kemarin, Abang puasin aja rundung aku. Sekarang udah lulus, selamat ya," ucap Jenan tersenyum pada Daniel membuat sang empu tak mengerti.

"Denger denger, kakak kenal sama bang Hai. Bener?" Tanya Jenan sembari menatap Daniel penuh harap.

Daniel terdiam sejenak. Benar. Daniel mengenal Haidar meski berbeda kelas, astaga kelas mereka bersampingan, bahkan Haidar selalu menyapa Daniel lebih dulu tapi Daniel yang angkuh selalu mengabaikannya.

"Iya."

Jenan tersenyum puas. "Gimana sikap Abang Hai di sekitar anak kelas 12?" Tanya Jenan lagi.

Daniel menunduk.

"Haidar baik. Dia selalu nyapa gue, tapi gue yang enggak ngerespon sama sekali."

Daniel membayangkan bagaimana wajah cerah dan sopan Haidar menyapanya tapi ia mengabaikannya, bagaimana nada bicara Haidar pada teman temannya tapi Daniel selalu membantah. 

Bagaimana Haidar membantu teman temannya untuk menyelesaikan masalah, ujian dan lain sebagainya dengan baik. Tapi Daniel tak pernah mengucapkan terima kasih sama sekali. Belum pernah bahkan.

"Maaf. Maaf kalo gue belum bisa ngebalss semua kebaikan Abang Lo," ucap Daniel.

Jenan terkekeh. Ia menunduk sebentar kemudian menatap lurus ke depan. "Setiap orang pasti bisa berubah, nanti aku ajak Abang buat minta maaf dan terima kasih ke Abang Hai. Ya?"

Jenan Dan Lukanya [SELESAI] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang