Bab 23

60 5 1
                                    

Bagaimana rasanya? Sakit? Tentu saja. Yang Harsa harapkan adalah pertemuan yang membahagiakan. Ini? Harsa malah di bawa ke TPU dimana itu akan menjadi rumah terakhir semua orang.

Harsa terduduk lemas di salah satu makam. Ia mengusap lembut batu nisan tersebut, air matanya mengalir begitu saja membuat Samudra ikut menangis.

Mama papa ternyata udah pulang duluan dibanding Harsa..

Harsa takut. Harsa takut kehilangan keluarga Harsa waktu Harsa ilang.

Tapi nyatanya, Harsa beneran kehilangan mama papa, dan Abang Hai.

Mama, papa. Harsa takut. Jenan sakit, Harsa takut kehilangan Jenan.

Kalo kalian ninggalin Harsa, setidaknya Jenan jangan. Tolong jangan ambil Jenan.

Harsa pengen ngerasain di peluk mama papa, di sayang mama papa bahkan main bareng Abang sama Jenan.

Tapi nyatanya itu semua mustahil pas Harsa balik kesini. Kalian semua pergi, kalian ninggalin Jenan sendiri.

Mama, papa. Harsa kangen..

Kalau saja Harsa bisa mengeluarkan suara, Harsa ingin menangis sekeras kerasnya untuk membuat perasaannya lega. Sialnya Harsa tak bisa mengeluarkan suara sama sekali, sekalipun bisa itu hanya gumaman tak jelas.

Samudra yang paham akan kondisi Harsa lantas membawa anak itu kedalam pelukannya.

"Gapapa Harsa belum ngerasain tumbuh sama papa mama. Setidaknya Harsa masih ada Abang, bibi, bunda sama ayah disini," tutur Samudra berbisik.

Samudra paham betapa sakitnya menjadi Harsa. Bisa kalian bayangkan bagaimana rasanya tumbuh tanpa bimbingan orang tua dan pada saat kembali, hanya tumpukan tanah yang kita temui dan bukan keluarga kita?

Itu yang Harsa rasakan.

"Harsa bisa denger aja udah seneng kan?"

Harsa mengangguk dalam pelukan Samudra.

"Mulai sekarang apapun yang Harsa mau, Abang turutin. Semua, semua yang Harsa mau," ucap Samudra.

Harsa melepas pelukannya, menatap nanar Samudra dan menggerakkan tangannya.

"Terima kasih.."

Samudra mengangkat satu alisnya. Entah ia tak paham tetapi Samudra hanya tersenyum sembari mengacak-acak surai lembut milik Harsa.

-o0o-

"PIPTO SAYA MOHON LAKUKAN YANG TERBAIK! SAYA MOHON PIPTO!"

Pipto mengangguk dengan mata yang tak sanggup menatap ke dalam ruangan. Beberapa jam setelah Samudra meninggalkan rumah sakit untuk menemani Harsa ke makam orang tuanya, Jenan alami kejang bahkan sampai membuat detak jantungnya tak stabil sehingga semua pihak medis di kerahkan untuk menangani Jenan.

"Saya mohon Pipto.. selamatin keponakan saya.." lirih Laura dengan suara bergetar

Pipto mengangguk. "Kita semua bakal berusaha. Tolong, tunggu disini," ucap Pipto membuat Laura mengangguk.

Laura menatap nanar Pipto yang memasuki ruangan Jenan. Ia tak menyangka jika kejang Jenan sehebat itu.

Tap.

Tap.

"Bibi!"

Laura menoleh, melihat Samudra dan Harsa berlari ke arahnya dan di belakangnya di ikuti Rosa serta Bagas.

"Laura, ada apa?" Tanya Rosa.

Laura terisak. "Jenan, mbaa.. Jenan kejang, tadi kejang nya hebat banget. Aku takut mbaa.." jawab Laura memberitahu bahkan suaranya terdengar semakin bergetar ketakutan.

Jenan Dan Lukanya [SELESAI] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang