Bab 9

73 9 3
                                    

Sejak kepergian orang tuanya dua hari lalu, sekarang Jenan membiasakan dirinya hidup berdua bersama Haidar. Haidar selalu memasak untuk sarapan, makan siang dan malam sebagai pengganti orang tuanya.

Ternyata hidup tanpa orang tua itu memang sudah dan berat. Haidar mengalaminya sekarang, ia harus membantu adiknya tumbuh dengan baik bahkan mengerjakan pekerjaan rumah.

Omong omong, papa Haidar punya perusahaan dan untuk sekarang di urus oleh sahabat karib papa nya dulu sambil menunggu Haidar lulus SMA tinggal menghitung hari saja. Eh tidak. Baru Senin nanti Haidar ujian. Sekarang Hari minggu.

"Abang, adek enggak bisa bobo siang maunya di temenin sama Abang" rengek Jenan menghampiri Haidar yang sedang mencuci piring.

"Bentar ya? Abang selesaikan ini dulu abis itu ke kamar temenin adek"

Jenan mengangguk. Tapi ia terdiam sebentar. "Abang mau adek mandiri? Adek bakal berusaha buat mandiri demi bisa bantuin Abang gantiin mama sama papa" ujar Jenan membuat Haidar terdiam.

Haidar tersenyum. "Enggak papa, Abang lebih suka kamu banyak ngomong" jawab Haidar.

"Tapi—"

"Tuh kan banyak nanya sama ngomong. Udah ngantuk itu matanya, sana ke kamar duluan bobo gih. Abang beresin cucian dulu" tutur Haidar lembut membuat Jenan mengerjapkan matanya dua kali.

"Enggak mau ah, adek mau ajak Jua sama Keal main aja disini" jawabnya kemudian berlalu pergi ke ruang tengah untuk mengambil ponsel membuat Haidar menggelengkan kepalanya.

Jenan jadi lebih sangat manja semenjak kedua orang tuanya pergi. Sebenarnya Jenan pernah mengatakan kalau dirinya ingin mandiri, tapi rasanya Jenan tidak bisa karena dia selalu mengingat bagaimana kedua orang tuanya memperlakukan Jenan dengan sangat baik.

Jenan ingin melupakan kejadian tersebut, tapi belum bisa. Kalau Jenan bisa meminta, Jenan ingin tetap di manjakan melalui abangnya sekarang, karena Jenan merasa orang tuanya masih ada dan mereka tengah menyaksikan kedua putranya hidup tanpa mereka.

Ceklek.

"JUA GUE KANGEN SAMA LO!!"

Haidar terkejut dengan teriakan tersebut. Ia mengintip sedikit melihat Jenan kegirangan memeluk kedua sahabatnya membuatnya terkekeh.

"Ada ada aja, bocah."

Jenan sendiri senang karena bisa memeluk sahabatnya kembali. Dua hari lalu mereka juga datang ke acara pemakaman orang tuanya, tapi Jenan masih merindukan sahabatnya.

Keal memilih untuk duduk duluan di sofa sementara Juavel dan Jenan masih berpelukan seperti? Ah kalian pasti tau.

Jenan lantas melepas pelukannya, mengajak Juavel untuk duduk.

"Masih sering kepikiran, Je?" Tanya Rakeal.

Jenan tersenyum. "Enggak akan gue lupain mereka. Meski sering kepikiran, tapi gue berusaha buat bahagia demi Abang gue." Jelas Jenan membuat kedua temannya mengangguk.

"Udah dua hari lalu Abang yang ngurusin rumah, masak bahkan semua pekerjaan rumah dia yang kerjain dan malem nya dia belajar buat ujian di sekolahnya. Hebat kan Abang gue?" Jelas Jenan dengan bangga diri membuat Haidar yang di dapur mendengarnya.

"Iya. Abang Lo lebih dari hebat. Tapi bentar lagi dia lulus, dia enggak ikut kelulusan ke bandung?" Tanya Juavel.

Jenan menggeleng. "Kata Abang dia enggak bakal ikut, soalnya enggak ada yang jagain gue"

Tap. Tap.

Haidar datang dengan tiga minuman di nampan dan dua toples camilan dan menyajikannya di meja.

Jenan Dan Lukanya [SELESAI] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang