SEKARJANI 34 : Lost You

3 0 0
                                    

Sudah satu jam semenjak perempuan yang berhasil membuat Jani kalut tertidur. Jani masih belum beranjak dari sisi Sekar. Pria itu menghubungi kontak pemilik studio fotografi yang akan mereka datangi, juga desainer yang seharusnya hari ini keduanya selesai melakukan fitting untuk baju resepsi mereka.

Jani memandangi wajah Sekar yang pucat, tergambar jelas gurat lelah di sana. Kantung mata terbentuk samar, terlihat oleh Jani. Meski sudah ditutup sedemikian apik oleh gadis itu. Dilihatnya lagi jemari yang kian kurus. Bahkan cincin pertunangan mereka yang melingkar di sana bergeser seiring dengan usapan telapak tangan Jani.

Ponsel milik Jani yang pria itu letakkan di atas nakas bergetar. Seseorang menghubunginya. Dilihat nama kontak yang tertera di sana. Liam Sutomo. Jani sungguh lelah meladeninya. Tapi juga tidak mungkin menghindar.

"Halo?"

"Jani, saya tau kamu mungkin sedang sibuk—" ucap Liam Sutomo terjeda. Jani menanti kalimat selanjutnya dengan tenang.

"—bisa kamu ke sini? Menemui putri saya, untuk terakhir kali?" tanya Liam sarat akan permohonan.

"Untuk apa?" Jani balik bertanya. Nada dingin yang ada pada kalimatnya kentara sekali dengan mukanya pria itu.

"Yuri mau menjalani perawatan psikologi di Singapura. Dia—kacau. Dia mau lihat kamu untuk terakhir kali."

Jani merasakan kebimbangan, di satu sisi Sekar sedang terbaring lemah di hadapannya. Sementara di sisi lain, dia merasa tidak ada salahnya untuk terakhir kali menemui Yuri. Menuntaskan segalanya.

"Saya mohon," lirih Liam.

Berpikir cepat, Jani akhirnya memutuskan untuk pergi. Mencium kening Sekar berpamitan. Meminta suster untuk menjaganya. Jani bergegas keluar dari rumah sakit. Mendatangi kediaman Liam Sutomo.

***

Beberapa pekerja yang ada di rumah milik Liam Sutomo menyambut Jani, mempersilakan pria itu masuk ke dalam. Rumah mewah dengan gaya American klasik yang sangat menyilaukan mata. Di sana, Jani sempat ragu sejenak. Tapi tetap melanjutkan langkahnya.

"Jani, terima kasih sudah datang." ucap Liam menyambut Jani. Dia menggiring Jani menuju kamar putrinya.

Jani sempat mengernyit, di kamar Yuri ada beberapa dokter yang sedang berusaha menyuntikkan obat penenang untuk Yuri yang kini meronta-ronta.

"Om, sejak kapan?"

"Beberapa hari yang lalu."

"Aaaaghhh. Aku mau Jani. Jani." teriak Yuri memekakkan telinga. Gadis itu belum menyadari kedatangan Jani.

"Yuri!" panggil Jani, mencoba mendekat ke arah Yuri.

"J-jani,"

Penampilan Yuri saat ini persis seperti orang yang berada di rumah sakit jiwa. Kedua tangan dan kakinya diikat tali yang ujungnya berada di sudut ranjang. Jani prihatin. Gadis yang biasanya bertingkah pongah itu terlihat sangat kacau.

"Sorry." ucap Jani.

"Kamu gak jadi nikah sama Sekar, kan? Kamu mau sama aku, kan?" tanya Yuri sembari menangis seolah anak kecil yang tengah meminta dibelikan permen.

"No. Yuri. Aku ada di sini, sebagai teman." ucap Jani.

"Enggak mau! Pokoknya aku mau kamu jadi suami aku! Mana Sekar? Dia sama kamu? Apa aku harus bunuh dia dulu?"

"Sst. Yuri." Jani memegang kedua bahu Yuri. Menatap gadis itu dalam. "I love her, Yuri. Kalau kamu bunuh dia, aku akan sakit." Jani mengucapkan kalimat itu sambil terus menatap mata Yuri.

Yuri meneteskan air mata, hatinya seperti tercabik-cabik karena penolakan Jani. Seumur hidupnya, baru kali ini dia gagal mendapatkan sesuatu yang gadis itu inginkan. Cinta memang bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang.

"Aku bahagia sama Sekar, kamu juga harus cari bahagiamu."

"Jani bahagia?" tanya Yuri. Wajah Jani meyakinkan gadis itu.

"Jani bahagia sama Sekar?" tanya Yuri, lagi.

Jani mengangguk. Pria itu memeluk Yuri untuk terakhir kalinya. Menyalurkan kekuatan untuk gadis angkuh yang sebenarnya sangat rapuh itu. Yuri menangis sejadi-jadinya. Tangisan penuh derita yang menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

"Sudah, Jani. Kamu boleh pergi. Terima kasih sudah datang. Besok saya dan Yuri akan pergi ke luar negeri. Doakan kami."

"Sama-sama om, pasti saya doakan." ucap Jani menyalami tangan Liam. Dia menepuk pundak Liam berkali-kali.

Liam mengantar Jani sampai keluar rumahnya. Menatap kepergian pria yang  menjadi obsesi putrinya. Liam tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan seluruh hartanya pun tidak bisa membeli Jani. Dia tidak bisa membeli cinta untuk putrinya, bahkan jika ditukar dengan segunung permata sekalipun.

***

Jani kembali ke rumah sakit dimana Sekar dirawat. Pria itu mampir ke toko bunga untuk membeli sebuah buket Mawar merah. Dia menggenggamnya, berjalan dengan pasti.

Jani membuka pintu kamar Sekar, namun sayang. Ruangan itu kosong. Jantung Jani seolah dicabut dari tempatnya. Sekali lagi, Jani memastikan bahwa memang benar ini adalah ruangan milik Sekar. Dan benar. Itu adalah ruangan milik Sekar.

Jani yang panik, segera mendatangi meja resepsionis untuk bertanya kemana Sekar pergi. Atau apa yang terjadi dengan Sekar.

"Sus, pasien atas nama Sekar dimana? Kamarnya kosong?"

"Sekar?"

"Iya."

"Pasien atas nama Sekar sudah dipindahkan ke rumah sakit lain atas permintaan walinya, pak. Bapak siapa?"

"Saya walinya!" sentak Jani emosi. Pikirannya sudah tidak tenang.

"Tapi benar, tadi yang membawa walinya."

Jani tidak mendengarkan lagi apa yang dibicarakan suster itu. Kepalanya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. Bisa jadi, Liam Sutomo yang memanggilnya hanyalah alibi untuk mengalihkan perhatian Jani dari Sekar. Katakanlah bahwa Jani gila karena memikirkan hal sekonyol itu. Tapi situasi saat ini juga sangat membuat Jani ketakutan.

Jani benar-benar kalut. Dia berjalan cepat di sepanjang koridor rumah sakit, mencari keberadaan gadis itu. Lagi-lagi Jani seolah dipermainkan. Semesta seolah tidak memperbolehkannya untuk meninggalkan gadis itu barang sedetikpun. Menyembunyikan gadis itu dari pandangan Jani. Menyiksa Jani yang semakin hari semakin tumbuh rasa takut kehilangan di hatinya.

"Sekar, dimana sih?"

Jani menelfon Sekar berkali-kali. Tapi ponsel milik gadis itu tidak aktif. Panggilannya tidak tersambung. Dia semakin panik. Menelusuri kanan kiri, pria itu melihat beberapa perawat mendorong sebuah brankar berisikan seorang perempuan. Jani meliriknya, ketakutan semakin menjalar pada dirinya. Wajah perempuan itu tidak terlihat. Hanya jarinya yang terkulai lemas di sana, Jani melihat sebuah cincin yang sama dengan yang Sekar kenakan. Cincin yang dibelikannya di Singapura. Ingatannya tiba-tiba melayang pada masa itu. Dimana Jani, tampak bahagia setelah melakukan video call dengan Sekar.

Dilihat brankar itu berjalan menuju ruang mayat. Jani tidak sanggup lagi menopang tubuhnya. Pria itu ambruk, tapi Jani coba untuk berjalan ke arah sana. Menghampiri praduganya. Dalam hati terus berdoa agar Tuhan tidak sekejam ini mengambil manusia kesayangannya untuk kedua kali. Matanya memburam, Jani terus melangkah dengan tertatih-tatih. Pria itu bertumpu pada dinding yang ada di sisi kirinya.

"Gak mungkin!"

"Itu bukan Sekar." ucap Jani meyakinkan dirinya sendiri.

Tinggal beberapa langkah lagi, Jani akan sampai. Dilihatnya dari kaca, perawat yang ada di sana mulai mengerubungi tubuh perempuan itu dengan kain putih. Jika benar dugaan Jani bahwa itu Sekar, maka Jani pastikan bahwa dirinya tidak akan baik-baik saja. Kali ini, semesta bergurau dengan cara yang keterlaluan.















TBC.

SEKARJANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang