Sinyal Buruk

31 18 6
                                    

Selayaknya hubungan yang terlahir karena cinta, merasa saling memiliki dan terpaut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selayaknya hubungan yang terlahir karena cinta, merasa saling memiliki dan terpaut. Namun, bagaimana jika hubungan cinta itu tidak direstui oleh semesta? Apakah jalan takdir terbaik adalah menghilangkan salah satunya?

Yuji mengantarkan Harumi ke depan gerbang rumahnya. Sebuah tembok besar bercat putih berdaun pintu dua, berwarna hijau.

Tumpukan salju semakin menebal, rangkaian tali lampu hias kuning pucat bergoyang-goyang tertiup angin. Deru angin menambah bising di telinga. Hidung dan telinga Yuji memerah. Untunglah Harumi terlindungi karena memakai kain penutup kepala berbahan wol. Sungguh ini bukan suasana romantis seperti yang diinginkan Yuji, tetapi ia tetap bahagia dan merasa lega. Kini aishite iru telah terucap, ternyata tergantung bagaimana memaknai romantis itu, bisa saja tanpa bunga, bulan dan bintang.

"Hari libur kita masih lama Yuji, bagaimana kita bertemu?" tanya Harumi mendongakkan kepala memandangi dagu Yuji yang begitu ingin ia sentuh.

"Hmm, apakah kita harus menahan diri untuk tidak bertemu?!" ucapan Yuji mengakibatkan gelengan pada Harumi.

"Aku tidak mau Yuji," rengek Harumi.

Yuji tertawa senang, ia hanya ingin menggoda. Sesungguhnya ia pun gamang memikirkan bagaimana mereka bertemu, sekolah baru akan dimulai pertengahan Januari, sedangkan bila liburan musim dingin tiba, ada sesuatu hal yang harus dilakukan Yuji yaitu arubaito. Inilah saatnya Yuji membantu ibu panti mencari dana tambahan untuk panti asuhan.

Biasanya Yuji akan kerja sampingan di kedai yang mau mempekerjakan anak sekolahan, tahun ini usianya telah tujuh belas tahun, tak ada larangan lagi baginya untuk sekedar arubaito di tempat yang aman bagi remaja lelaki seperti dirinya.

"Yujiii!!"

"Hah?"

"Kau melamun weeh .." Harumi merengut kesal.

"Tidak, tidak aku hanya .." belum selesai Yuji bicara seseorang membuka daun pintu berwarna hijau itu dengan tatapan tajam. Ya tatapan itu sangat sinis, itulah yang dirasakan Yuji. Orang itu Keiko Arai yang tak lain adalah ibu Harumi berjalan mendekati mereka dengan langkah seakan ingin menerkam.

Tapi tidak, mungkin itu hanya perasaanku cetus Yuji dalam hati. senyuman mengembang dari bibir nona Keiko Arai. Disapanya Yuji dengan anggukan penuh wibawa.

Yuji cepat tanggap untuk membungkuk mengucap salam, kali ini ia tak bisa seenaknya membuang muka bila nona Keiko Arai berbicara, wanita itu kini adalah ibu dari kekasihnya yang harus ia hormati.

"Harumi masuklah, di luar dingin!" nona Keiko setengah memerintah.

Harumi protes dengan langsung menggelengkan kepala, digenggamnya tangan Yuji erat. Nona Keiko melirik sekilas sinis. Kini Yuji hampir merasakan bagai pisau belati siap menghunus ulu hati. memahami situasi ibu dan anak yang bisa saja bertengkar karena dirinya, Yuji langsung berpamitan untuk pulang.

Harumi menggeleng menatapnya, "Tidak Yuji!" bisiknya lirih.

"Masih ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Besok aku akan ada di kedai oden untuk arubaito," ujarnya lirih.

"Apa aku boleh menemuimu saat bekerja?" mata Harumi berbinar, ia berharap.

"Sebenarnya tidak, di sana aku bekerja dan bukan sebagai pelanggan, tapi kau bisa saja duduk dan mengawasiku yang sedang melayani pelanggan, apakah kau bersedia Harumi?" Harumi mengangguk mantap.

Ibu Harumi berdehem, melihat wajah putrinya terus berusaha mendekat ke arah Yuji.

Yuji langsung paham deheman itu arahnya kemana, rupanya sudah tak diizinkan lagi bercengkerama. Mengusap pipi Harumi sekali lagi, mengangguk hormat pada ibu dan anak itu lalu beranjak pergi.

Mantel panjangnya menembus hujan salju yang semakin rapat. Yuji melangkah pergi dengan tidak menengok lagi. Sesungguhnya waktu pertemuan tadi masih terasa kurang. Inikah yang namanya berpacaran? Waktu tetap saja kurang bila bertemu dengan orang yang dicintai, batin Yuji.

Mungkin karena sudah saling mengaku tentang rasa cinta, Yuji melihat Harumi menjadi sangat berbeda.

Namun, ada suatu hal yang sedikit mengusik hatinya. Tatapan nona Keiko Arai tadi mirip dengan tatapannya setahun yang lalu, saat nona Keiko Arai untuk pertama kali bertemu dengan Yuji dan langsung menilai buruk kemampuan Yuji, meskipun saat itu belum melihat langsung pertandingan yang pernah Yuji ikuti. Ya, diremehkan. Perasaan itu amat familiar bagi Yuji.

Kembali lagi sinyal buruk itu hadir setelah setahun berlalu, Yuji menerima sinyal meremehkan dari nona Keiko Arai untuk kesekian kali.

***

Harumi mengantarkan punggung Yuji yang berbalut mantel dark brown, dengan tatapan sayu hingga menjauh pergi. Ini untuk pertama kalinya, seorang kekasih mengantarkannya sampai gerbang rumah. Bayangan penutup kencan yang manis terkubur sudah, ibu Harumi mengacaukan apa yang ada di isi pikiran Harumi.

Tanpa sadar ia merengut sebal pada ibunya. Nona Keiko Arai tentu saja tak mau terintimidasi dengan raut muka sebal Harumi. ia adalah wanita yang tidak mau kalah dari siapapun termasuk anak kandungnya sendiri.

"Nani ..? Nanda yo ..?" intonasi nadanya meninggi, matanya mendelik. Ibu Harumi masih ngedumel saat Harumi membalikan badan dan menutup pintu gerbang kasar.

Teriakan-teriakan ibunya tidak dipedulikannya, Harumi mengambil selimut dan menenggelamkan dirinya dalam gulungan selimut tanpa melepas mantel dan syal yang dikenakan. Masih ada sentuhan tangan Yuji di semua yag dikenakan saat ini. Harumi enggan melepaskan dan ingin tertidur dengan rasa nyaman.

Bersambung

Note:

Arubaito: kerja sampingan

Nani : apaan

Nanda yo: apaan sih

1977  (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang