27. Arka.

15 2 1
                                    

"Bro, jadi maen basket ntaran?" tanya Diro.

Arka melirik sedikit teman se club basketnya itu. Lalu menggeleng tipis. Hari ini dia sangat lelah, dan berniat untuk menghabiskan waktunya seharian di ranjangnya.

"Ck. Yaudah lah" jawab Diro lalu melenggang pergi dari kelas itu.

10 menit yang lalu bel pulang sekolah sudah berbunyi. Dan SMA SATURN itu mulai sepi penghuni nya. Arka yang masih berkutat memasukkan alat tulisnya ke dalam tas hitam milik cowok itu. Bawaannya sangat banyak hari ini, dikarenakan adanya praktikum kimia yang membawa sejumlah barang. Sangat membagongkan!

Cowok itu tak sengaja mengalihkan pandangannya pada tempat duduk disebelahnya. Baru menyadari bahwa penghuni tempat duduk itu sudah tidak masuk selama 3 hari penuh. Memandangi cukup lama meja itu, dan menangkap tulisan kecil yang ada di meja itu.

Arka mengernyit kan kening nya membawa tulisan dengan tinta hampir pudar itu.
"143, for A"

Cowok itu tiba tiba mengerti maksud tulisan itu, dan tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis. Ia mengeluarkan pulpen yang berada di saku bajunya. Lalu menuliskan sesuatu di meja gadis itu juga.

"143 more, M"
Seakan menjawab tulisan pudar itu.

Arka lalu melenggang pergi dari situ. Sebenarnya cowok itu memiliki urusan belakangan ini, yaitu merawat ibu nya yang berada di rumah sakit. Ya, seminggu kemarin ibu nya jatuh sakit, dan sedang dalam masa pemulihan. Rea tidak menyuruh puteranya itu untuk menghampiri nya saat ini, namun entah mengapa Arka berinisiatif untuk menjenguk wanita itu.

Menyusuri koridor rumah sakit yang semerbak dengan bau obat obatan, sesekali Arka menahan napasnya. Sungguh, bau ini lebih tidak mengenakkan dibandingkan bau rokok, bagi nya.

"Saya gatau kamu jatuh sakit"

"Memangnya sejak kapan lo ngurus gue? bahkan nanya kabar aja, engga!"

Arka menghentikan langkahnya mendengar teriakan dari ruangan itu. Apakah ada yang sedang bercekcok disana? Namun, kenapa dia mengurusi hal itu? Lebih baik dia melanjutkan langkahnya saja kan?

"Mozza! oh, berani kamu membentak saya?"

Belum sempat melangkah, cowok itu bungkam seribu bahasa. Mozza? apa dia salah dengar? apa cowok itu akan bertemu dengan gadis itu disini? tapi mengapa dia ada di tempat ini?.
Tanpa Arka sadari, langkahnya perlahan maju menuju ruangan itu untuk semakin dekat.

"Kamu itu gausah lebay! salah kamu sendiri kan, makanya jatuh sakit"

Disisi lain, dengan keadaan dan kondisi yang sudah acak acak an, Mozzaira menghela napasnya panjang, menetralkan detak jantung yang semakin berdegup kencang. Sungguh, this is so hurt.

"Papa ga akan pernah tau" isak gadis itu pelan.

"Lebih baik, papa keluar" sambung gadis itu memejamkan matanya. Kemarin, dia sudah tenang berada di tempat ini. Namun mengapa ayahnya datang ke ruangan ini hanya untuk memarahi nya?

Melihat tidak ada respon dari pria paruh baya yang masih saja berdiri tegap akan pendiriannya itu. Mozza menggertakkan giginya. Sampai kapan ia harus membenci ayah nya?

"Keluar!" sentak gadis itu mericau layaknya orang yang sudah hampir tak berdaya.

Arka dengan cepat melesat kebelakang tembok disebelahnya supaya tidak ada yang melihatnya mendengar percakapan itu sedari tadi. Tapi, apa permasalahan gadis itu dengan ayahnya? bukankah mereka adalah keluarga yang harmonis? walaupun vio sudah tidak ada.

Sepeninggalan Revan, gadis berambut hitam pekat itu menangis sejadi jadi nya. Ia kira, kedatangan Revan akan memberikan kehangatan bagi nya. Namun salah, kondisi Mozza semakin kacau karena pria itu. Gadis itu memeluk dirinya sendiri, merengkuh hangat tubuh seorang gadis kecil yang haus kasih sayang yang dipaksa untuk menghadapi kehidupannya yang sangat pahit.

Arka kembali mengintip dari jendela ruangan itu.

"M-mozza"  Bibirnya sedikit ternganga bahwa gadis yang sedang dilihatnya itu, benar adalah Mozzaira.
Pakaian rumah sakit, tangan yang sedang di infus dan rambut yang acak acakan. Dimana suster ruangan itu? mengapa setelah perdebatan itu, gadis itu terlihat sangat hancur? Banyak pertanyaan yang sulit dicerna Arka. Ia menelan saliva nya susah payah.

Cklek..
Arka membuka pintu itu pelan, menimbulkan hanya sedikit saja suara decitan dari knop pintu itu.

Gadis yang masih menenggelamkan wajahnya pada lipatan lengan yang diletakkan di lututnya itu masih tidak sadar, bahwa ada seseorang yang masuk kedalam ruangannya.

Arka mengedipkan matanya berkali kali dan menatap langit langit ruangan itu sejenak, berusaha menahan air matanya yang membendung. Ruangan ini, mengapa terasa begitu menyakitkan?

"Za" panggil cowok itu dengan suara yang hampir menghilang.

Tidak ada respon. Namun isak tangis gadis itu masih saja berlanjut, seakan memberi tahu kepada semua orang bahwa dirinya sangat tidak baik baik saja.

"Za" panggil cowok itu lagi. Sebenarnya gadis itu menyadari bahwa Arka berada disitu. Saat perdebatan tadi, tidak sengaja gadis itu menangkap bayangan seorang cowok. Dan sangat mirip dengan Arka.

"P-pergi, ar" jawab gadis itu dengan nada layaknya seseorang habis menangis.

Cowok itu mengatupkan bibirnya. Apa yang harus dikatakannya sekarang?

"Gue ga butuh lo disini, Ar"

Deg.
Arka menelan saliva nya susah payah. Apakah selama ini Arka terlalu jahat kepada gadis itu?

"K-kalau cuma kasian, gausah" lirih gadis itu lagi.

Dengan reflek nya, cowok jangkung itu merengkuh tubuh lemah gadis itu. Sang empu yang tiba tiba dipeluk itu, sedikit tersentak kaget. Mozza diam, tak membalas pelukan itu.

"Nangis za, gue tau lo ga kuat"

Mendadak mata gadis itu memburam. Air bening yang mengalir di mata kehitaman milik gadis itu. Menangis sejadi jadinya meluapkan segala kesedihan nya, dipelukan seseorang yang dia sayangi.

Arka mendengar isak tangis gadis itu, merasakan tangan gadis itu mencengkram kuat hoodie yang dipakai cowok itu, seakan mengatakan bahwa Arka tak boleh pergi untuk saat ini. Dengan telaten, Arka mengelus surai rambut gadis itu, mencoba menenangkannya.

"Gue ga punya siapa siapa lagi, Ar"

Kalimat itu, mengapa membuat hati Arka seakan teriris?
Ada rasa menyesal yang dirasakan Arka, kenapa dia sejahat itu kepada gadis rapuh ini?

"Sekarang ada gue, za" jawab cowok itu lembut.

Mozza melepaskan pelukannya. Menatap kosong mata cowok dihadapannya itu. Apakah Mozza percaya kalimat itu? Mungkin. Tapi sepenuhnya tidak. Mozza muak dengan kata kata itu. Semua akan pergi pada saatnya dan meninggalkan gadis itu sendirian.

"Bohong" desis gadis itu mengalihkan pandangannya, mata nya kembali memburam.

"Engga, za--"

"Bohong Ar! dulu, papa juga bilang kayak gitu, tapi itu dulu, sekarang dia udah-" Mozza menggantungkan ucapannya itu, tenggorokan nya kembali perih jika mengingat itu.

Arka kembali memeluk tubuh gadis itu, pelukan kali ini lebih erat dari sebelumnya membuat degup jantung gadis itu berpacu cepat.

"Apapun yang lo pikirin tentang hal itu. Tolong za, sekali aja terima gue untuk saat ini"


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MOZZARKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang