24. I feel it

14 2 0
                                    

Mozza berbaring di tempat tidurnya. Sudah ber jam jam dia tidak keluar dari kamar itu. Gelap, dan berantakan. Gadis itu sangat enggan membuka ponsel nya. Sudah banyak notif sedari tadi. Bahkan spam call.

Jujur. Kepala gadis itu seperti dibenturkan oleh sesuatu yang keras. Sangat sakit, sungguh. Mozza mengambil ponsel nya diatas nakas, tanpa berniat membuka WhatsApp nya.

"Free?"

"Iya, sudah lama kamu tidak kesini, za. Apakah sudah membaik?"

"Ga. Sangat buruk"

"Datanglah, i'm here"

Tut.
Tanpa membalas lagi gadis itu beranjak dari ranjang nya, berniat untuk pergi konsultasi dirinya. Sudah lama gadis itu tidak cek keadaannya.

Cukup lama menunggu dokter yang akan memperlihatkan hasil tes. Mozza membuka ponselnya namun tidak membaca pesan pesan itu. Lagian, untuk apa mereka mencari Mozza? biasanya juga ga peduli.

Sudah 2 hari gadis itu tidak masuk sekolah. Entahlah, dia juga sangat malas menginjakkan kakinya ke sekolah itu.

"Sendiri aja nih, za?" tanya dokter itu membuat Mozza mengalihkan pandangannya dari ponsel itu.

"Biasanya juga sendiri, dok" jawab gadis itu terkekeh.

"Jadi, kamu siap mendengar hasil tes nya?" tanya dokter muda berambut cokelat sedikit ikal itu.

Telinga Mozza seakan tuli mendengar setiap kalimat yang diucapkan oleh dokter itu. Jantungnya seperti BB tertikam benda yang sangat tajam.

Mozza hanya berharap apa yang telah terjadi dan didengarkannya saat ini hanya mimpi. Dan berharap dia akan segera bangun.

"Karena memang gejala yang timbul memperkuat asumsi, maka kemarin itu saya minta untuk pengecekan lagi" jelas dokter itu lebih rinci
"Seperti Mozza yang mudah lelah, dan sering mimisan dan badan kamu yang mudah lebam, itu gejala dari penyakit ini"

"Hmm, Mozza sendiri pernah menyikat gigi atau gusi nya menjadi lebih mudah berdarah?"

"Iya, dok" suara gadis itu memelan, tenggorokan nya tercekat mengatakan itu.

Dokter muda itu sebenarnya tak tega melanjutkannya, namun mata gadis yang memohon sejak tadi itu membuat hatinya tak tega.

"Nanti dibicarakan lagi ya, Za. Kamu bisa istirahat dulu lebih banyak. Jangan mudah kecapekan dan kurangi overthinking nya. Mozza masih bisa mengupayakan untuk sembuh" jelas Dokter itu dengan lembut.

Tuhan, jika ini hanya sekedar mimpi, tolong bangunkan Mozza dari mimpi buruk ini, Mozza tidak menginginkan penyakit ini.

"Makasih dokter, Mozza pamit" jawab gadis itu.

"Mozza" panggil dokter itu saat gadis itu telah membuka kenop pintu ruangan itu.
"Pasti ada jalan untuk sembuh. Jangan takut ya, dokter akan bantu Mozza"

Tanpa menjawab kalimat dari dokter itu. Gadis itu keluar dengan meremat amplop berwarna coklat itu.

"Kanker". Mozza menelan saliva nya susah payah. Hati nya begitu sakit membaca itu. Ia terkena Leukimia

Air mata gadis itu menggenang di pelupuk matanya. Jantungnya berdetak sangat cepat. Gadis itu membekap mulutnya, menahan tangis yang sedari tadi ingin ia lampiaskan.

"Engga kan? Ini pasti mimpi" sangkal gadis itu.

Namun, berapa kalipun ia menyangkal, tes itu tidak berubah. Mozza harus menerima kenyataan pahit seperti racun ini.

Selama diperjalanan pulang, kaki gadis itu lemah. Seperti tak berdaya kakinya melangkah tak tau arah. Kemana dia akan pulang? Dimana rumah nya? Apakah akan ada yang peduli dengannya? Apakah akan ada yang datang dan mengasihani dirinya?

MOZZARKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang