19. Gramedia

23 3 0
                                    

Bian memberhentikan motornya di parkiran Gramedia itu. Hari ini bandung tidak terlalu rame, karna jam masih menunjukkan pukul 15.00

Di Gramedia itu pun tidak terlalu banyak orang. Kebanyakan, anak SMA juga. Mozza dan Bian pun berjalan beriringan masuk ke Gramedia itu.

"Ibu kepsek nyuruh beli buku apa kak?" tanya Mozza tanpa mengalihkan pandangannya dari rak buku novel.

"Novel, dan cerita dongeng"

Mozza mengangguk paham. Mozza sudah sering juga ke Gramedia ini, tetapi tidak terlalu sering. Karna, Mozza lebih banyak menghabiskan waktunya ke pantai yang berada di dekat rumah nya.

Mozza melihat lihat buku novel yang dipajang disitu. Sangat indah. Bagi Mozza, dunia fiksi adalah surga. Tokoh didalam novel membuat Mozza terkadang memetik sebuah arti di dalam cerita itu.

Fiksi, satu kata yang bisa membuat Mozza melayang membayangkan betapa indahnya dunia itu. Mozza tersenyum kepada satu novel yang sudah Mozza tamatin dulu. Sejak SMP Mozza sudah membaca sekitar 20 buku, mungkin? atau lebih?

Jika Mozza disuruh memilih, ingin hidup di dunia fiksi atau dunia nyata? jelas! Fiksi pemenangnya. Bagi Mozza, dunia fiksi begitu menyenangkan, rasa nya segala problem sangat mudah diatasi, terutama masalah percintaan. Bagaimana di kehidupan nyata? Rumit.

Bian melirik gadis yang sedari tadi senyum melihat buku yang di genggamannya.

"Segitu asyik nya?" celetuk Bian membuat Mozza sadar akan lamunannya, lalu tersenyum tipis.

"Mozza suka novel" jawab gadis itu kembali asyik dengan buku yang dipegangnya.

"Gue tau"

"Darimana kakak tau?"

"Kan tadi lo yang kasih tau" jawab cowok itu membuat Mozza menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Kakak udah nemuin bukunya?" tanya Mozza mengalihkan topik, supaya tidak terselimuti keheningan lagi.

Jarang sekali Mozza mengobrol dengan kakak kelas nya ini. Mozza pun tidak tahu kenapa, Bian mau mengajak nya ke Gramedia untuk kepengurusan OSIS. Sedangkan, gadis itu sendiri tidak OSIS. Apa jangan jangan? Ah, tidak mungkin.

"Mikir apa sih lo, Mozza! halu mulu" gumam gadis itu pelan.

"Udah, udah diletak di meja kasir" balas Bian.

"Em, jadi kita balik nih kak?" tanya Mozza, lalu dibalas anggukan oleh cowok itu.

Mozza mengiyakannya. Sebenarnya Mozza ingin berlama lama disini, sudah lama tidak ke Gramedia. Namun Mozza juga tau, pasti Bian ada urusan lain kan? Nanti waktunya habis hanya untuk menunggu Mozza.

Kedua sejoli itu pun keluar dari Gramedia itu. Mozza sempat membeli satu buku, untuk dibaca dirumah. Hitung hitung menambah koleksi novel gadis itu.

"Mau beli ice cream?" tawar Bian.

"Ma-" ucapan gadis itu terhenti, mata gadis itu tak sengaja menangkap seseorang di seberang sana.

Bian mengikuti arah pandangan gadis itu. Hanya ada cowok berjaket hitam disana.

"Kenapa?"

"Ah? eh, kak kita balik aja yuk" jawab gadis itu sambil memperhatikan cowok yang diseberang sana.

Itu Arka. Entah mengapa Mozza sangat takut jika Arka melihat dia berduaan dengan cowok lain.

Bentar, Mozza menyadari sesuatu. Kenapa dia harus takut? bukannya Arka tidak peduli dengan Mozza? Kenapa dia mempedulikan Arka? Mozza merutuki dirinya sendiri.

"Ayok, tadi mau balik" sentak Bian melihat Mozza masih diam ditempatnya.

"Eh? hehehe iya kak, ke pantai mau ga kak?" tawar Mozza.

"Gajadi balik?"

Mozza menggaruk tengkuknya.
"Engga kak, mau ke pantai" balas gadis itu dengan wajah memelas.

Bian tersenyum tipis. Hampir tidak terlihat jika tidak diperhatikan. Mozza melihat senyum itu. Manis juga ya. Eh?

"Yaudah naik"

***

"Kakak suka pantai?" tanya gadis itu sambil berjongkok memainkan pasir pantai itu.

"Suka" jawab cowok itu yang ikut berjongkok memainkan pasir pantai, juga.

"Mozza juga, sangat sangat suka" timpal Mozza sambil tersenyum.

Hembusan ombak pantai membuat helai rambut gadis itu beterbangan kecil. Suara air pantai yang begitu menyejukkan seakan menghanyutkan mereka dalam diam.

"Kak" panggil Mozza sedikit kencang karena suara ombak yang begitu besar.

"Ya?"

"Kakak percaya kalau janji itu ada?" tanya gadis itu menatap air pantai itu, menunggu matahari tenggelam.

"Iya, kenapa?"

Mozza tersenyum tipis.
"Kakak beruntung, bisa mempercayai apa itu janji. Pasti setiap janji yang orang berikan kepada kakak, selalu mereka tepatin kan?"

Bian hanya diam tak membalas lagi, dan hanya berusaha mencermati sepatah dua kata dari gadis itu.

"Mozza, sama sekali ga pernah percaya kalau janji itu ada, banyak orang pernah berjanji sama Mozza, tapi mereka ga pernah nepatin janji nya" ucap gadis itu, lidah nya mendadak kelu mengatakan ini.

"Kenapa gitu?" balas Bian

"Gatau, bahkan Mozza pernah takut kalau ada yang berjanji sama Mozza" sambung gadis itu lalu menoleh kearah Bian, kakak kelas nya itu.

Pahatan demi pahatan wajah Bian begitu sempurna, Mozza rasa hidup Bian juga penuh kesempurnaan. Sifat cowok itu tidak begitu dingin. Padahal banyak orang yang mengatakan bahwa Bian itu kulkas seribu pintu.

"Kalau mati, kakak takut?" tanya gadis itu pelan, masih memperhatikan wajah Bian.

Bian mengernyit tipis.
"Semua orang juga takut" balas nya.

Mozza lagi lagi tersenyum, ternyata bukan hanya Mozza yang takut akan kematian. Semua orang juga.

"Mozza selalu nangisin orang yang mati. Siapapun itu, bahkan hewan sekalipun"

"Tapi, Mozza kadang berpikir, kalau Mozza mati, ada ga ya yang nangisin Mozza?" sambung gadis itu, suara nya hampir menghilang mengatakan itu semua.

"Kenapa ngomong gitu?" tanya Bian semakin heran dengan pembahasan gadis itu.

Mozza menggeleng masih dengan senyum yang melekat di wajah manis nya. Mengambil bunga yang sudah layu tertanam di pasir itu. Itu bunga yang sangat Mozza suka, selain itu, tidak ada.

"Mozza ga pernah suka sama bunga lain kecuali bunga ini. Jadi, kalau Mozza mati, tolong bawain bunga yang lainnya ya kak? Supaya bunga ini tidak sendiri, kayak Mozza"

Bian yang mendengar itu memberhentikan aktivitas nya yang menggambar sesuatu diatas pasir.

Kali ini Bian mengerti maksud dari semua perkataan Mozza. Dibalik senyuman yang menghiasi gadis ini, ada luka yang begitu mendalam. Sehingga obat sekali pun tidak bisa menghilangkan bekas nya.

"Lo ga boleh ngomong gitu" balas Bian.

"Mozza cuma bilang aja kok"

"Kalau beneran, Mozza juga gapapa kok"

"Semua orang juga punya masalah, za. Maka dari itu, kita butuh yang namanya someone to talk"

"Kalau ga punya?" tanya gadis itu membuat Bian mendongak menatap gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

MOZZARKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang