1-3 • Bisikan Langit Malam

52 28 7
                                    

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"Assalamu'alaikum," salam Kailani yang baru saja pulang dari sekolah. Pandangannya kosong, dan dadanya terasa begitu berat.

"Ini udah keterlaluan Lan!"

"Kamu belum pernah cerita tentang ini ke Kakak kamu, kan? Hari ini pokoknya kamu harus cerita!"

Sudah satu tahun lebih Kailani mengenal Kartika, namun baru hari ini ia melihat Kartika begitu marah. Tapi jika dipikir, perkataan sahabatnya itu ada benarnya. Karena berbeda dengan Kartika yang terkadang masih memberikan perlawanan, dirinya selalu terdiam disaat dirinya dirundung. Dan selain Kartika, tak ada yang pernah mengetahui tentang semua luka yang ia alami. Mungkin, Kartika benar. Mungkin, hari ini, perlakuan Claudia sudah keterlaluan, dan mungkin, ini adalah kesempatan yang sempurna untuk menceritakan hal ini kepada Kakaknya.

Langkah gontainya akhirnya membawakan dirinya ke hadapan pintu kamar Aryasa. Kailani pun membuka pintu itu dengan perlahan, sembari berbisi, "Kak? Eh-", Kailani tertegun begitu menyadari bahwa Kakaknya itu kini tengah menangis. Dan dengan panik, ia pun kembali menutup pintu itu.

Percakapan Aryasa dengan atasannya yang Kailani dengar semalam pun menjadi hal pertama yang terbesit di pikirannya sebagai alasan lelaki itu menangis.

"Permasalahan uang lagi, ya?" Kailani melirik dapurnya yang memang sudah begitu kosong. Semua makanan habis sejak tiga hari lalu. Kailani menghembuskan napas kasar, kemudian berjalan menuju kamarnya.

Kailani melirik kantung kresek yang menggantung di tangan kanannya. Kantung kresek yang berisi sobekan-sobekan basah dari buku catatan miliknya. Sejak kejadian itu, hatinya terasa bagai mati rasa.

Setelah cukup lama melamun di depan kamar pintu, Kailani pun kembali melangkah gontai, dan kali ini langkah itu membawa dirinya ke kamar tidurnya. Setelah membereskan semua peralatan sekolahnya, Kailani memutuskan untuk kembali membuka buku catatan spesialnya itu di meja belajar, dengan buku catatan kosong baru yang diletakkan di sampingnya.

Sinar bulan menyinari meja belajar Kailani, yang menjadi satu-satunya sumber cahaya yang ada di dalam kamar itu.

"Kalau ditulis ulang, bisa gak ya?" gumam Kailani lemas. "Bagian pembukanya pun Lani udah gak inget..."

Tatapan Kailani begitu kosong, empat puluh menit sudah berlalu sejak ia duduk di meja belajar itu. Dan selama empat puluh menit itu, satu-satunya hal yang ia lakukan hanyalah menatap buku catatan di hadapannya.

"Kalau aja Lani gak pernah ketemu Claudia..."

Di tengah lamunannya, Kailani melirik jam dinding yang menggantung di kamarnya. Jarumnya menunjukkan pukul setengah sembilan. Merasa lamunannya tak membuahkan hasil, Kailani pun akhirnya menyerah dan menutup bukunya.

Dan setelah meja belajarnya kembali rapih, Kailani pun beranjak berdiri. Namun, tanpa ia sadari, baju nya ternyata terkait di sudut meja belajarnya, dan alhasil, badan kecilnya kehilangan keseimbangan, kemudian tertarik ke sudut mejanya yang tajam itu.

"Aduh!!!" Kailani mengaduh kesakitan, karena sudut meja belajarnya itu membesit pergelangan lengannya dengan begitu panjang. Luka di sepanjang lengannya kini menganga lebar, mengalirkan darah segar yang membasahi lantainya.

Namun, kali ini ada yang aneh.

Karena kali ini, hal pertama yang dipikirkan oleh Kailani setelah mendapat luka itu bukanlah untuk mengambil kotak P3K. Karena kali ini, anehnya, rasa perih yang menjalar di sekujur lengannya itu terasa sedikit menenangkan. Semua memar, luka, dan juga kenangan-kenangan buruk yang selama ini memberatkan hatinya tiba-tiba sirna, dan digantikan dengan sensasi sakit luar biasa yang dirasakan di lengannya. Dan sayangnya, perempuan itu menyukai sensasi itu.

Kailani tahu, bahwa tindakan yang akan ia lakukan di malam itu adalah tindakan yang jauh dari kata benar. Namun, rasanya, silet yang terletak di atas meja belajarnya terlihat begitu menggiurkan.

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"Lan, di lengan kamu kok kayak ada noda darah gitu?" basa-basi Kartika, mencoba mengajak sahabat sebangkunya itu mengobrol. Namun, Kailani tak menggubris pertanyaan itu, dan justru kembali fokus mengerjakan tugasnya, sama sekali tak menghiraukan Kartika yang menatapnya dengan cemas.

Tak mau menyerah, Kartika pun kembali memanggil Kailani, kali ini dengan nada yang jauh lebih lembut. "Kailani Milana, kamu kenapa...?"

"Kamu bisa diem dulu?" hardik Kailani dingin.

Kartika tertegun dengan respon Kailani yang begitu berbeda dari dirinya yang biasanya. Namun Kartika pun merasa tak enak jika bertanya lebih lanjut, karena takut akan memperburuk keadaan.

Bel istirahat pun akhirnya berbunyi. Kailani masih tak kunjung menghiraukan Kartika, dan justru langsung berdiri, menatap Kartika dengan tatapan dingin. "Permisi."

Setelah Kartika memberi jalan, perempuan itu pun langsung berjalan ke depan, mengumpulkan tugasnya di atas meja guru, dan kemudian langsung berjalan keluar bersama semua murid yang juga langsung melangkah keluar kelas.

"Hah...?" Kartika mengernyitkan keningnya dengan seribu pertanyaan dikepalanya. Karena pasalnya, selama ini Kailani selalu minta ditemani jika keluar kelas. "Dia kalau ditanya jawabnya gak kenapa-napa. Tapi sikapnya suka tiba-tiba berubah kayak gitu, heran deh..."

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"Di situ emang jam berapa Lan?"

Kailani melirik jam dinding kamarnya lemas, kemudian kembali menatap lelaki yang kini berada di saluran video call pada layar ponselnya. "Maghrib."

"Oalah... kalau di sini udah jam sembilan sebenernya, makannya tadi Ibu gue pun udah ribut nyuruh tidur."

"Emangnya kapan kamu balik dari Australi, Del?"

Lelaki itu tersenyum jahil pada layar ponsel Kailani. "Cie... kangen ya?"

"Gak," jawab Kailani ketus. "Ngapain kangen sama kamu, nyebelin banget. Dulu juga kerjaannya ngejahilin Lani terus."

"Yaelah gue udah gak sejahil dulu kali."

"Delyon gak jahil? Mana mungkin."

Lelaki itu tertawa sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan topik pembicaraan."Lan, dari tadi lo murung terus, ada masalah?"

Kailani menggeleng pelan. "Enggak kok."

"Yakin?"

Kailani mengangguk.

"Terus kenapa dari tadi belum melaksanakan amanat Kak Yasa?"

Kailani menautkan alisnya. "Amanat Kak Yasa yang mana?"

"Yang itu..." Lelaki itu menunjuk bibirnya. "'Jangan lupa senyum hari ini.' Dia selalu ngomong kayak gitu, kan?"

Kailani menghembuskan napasnya kasar, sampai kemudian memberikan senyuman kepada lelaki itu. Namun, teman masa kecilnya itu tentu saja dengan mudah mengenali bahwa, "Senyumnya kok kaku banget?"

"Kaku dari mana?"

"Lan..." Lelaki itu kali ini benar-benar tampak khawatir. "Lo serius gak kenapa-napa? Kalau ada apa-apa gue siap dengeri-"

Kailani tak menghiraukan pertanyaan itu, dan justru menutup panggilan secara sepihak. Ia pun melempar ponsel miliknya di atas ranjang, kembali duduk di meja belajar, kemudian melanjutkan selembar surat yang ia tulis.

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

DhatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang