4-3 • Kehidupan Selanjutnya/Janji

24 9 4
                                    

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

Sudah satu jam berlalu sejak Claudia berdiri di rooftop apartemen itu, menikmati indahnya pemandangan kota malam untuk terakhir kalinya sebelum ia mengakhiri hidupnya.

"PEMBUNUH! PEMBUNUH! PEMBUNUH!!!"

Semua sorakan itu, semua tatapan itu, dan juga semua perbuatan buruknya di masa lalu. Semuanya terus berputar tanpa henti, beriring dengan perasaan sesak nan kosong yang terus mengikat dadanya.

Matanya sudah begitu lelah dari semua malam-malam tanpa tidur yang ia lalui. Lambungnya telah membusuk dari kurangnya makanan yang masuk, namun rasa sakit itu ia kubur dengan botol minuman keras yang ada di genggamannya.

Entah apalagi yang ia tunggu. Apakah ia menunggu untuk bulan memanggil dirinya? Menunggu sampai minuman di dalam botol itu habis? Atau ia menunggu tubuhnya sampai terhuyung tak sadarkan diri, dan terjatuh dengan sendirinya dari sudut bangunan itu? Ia tak tahu lagi. Tapi yang jelas, sampai detik ini, ia masih berputar-putar di atap apartemen itu, seolah menunggu sesuatu.

"Ah, sial." Claudia kembali menenggak botol itu sembari berjalan sempoyongan, perlahan mendekati beton pembatas sudut rooftop itu, siap mengambil langkah terakhirnya. Sampai, suara seorang lelaki yang familiar menghentikan langkahnya.

"CLAUDIAAA!!!" Lelaki itu berteriak sekuat tenaga sampai pita suaranya terbakar habis.

"Dan... datanglah si pahlawan kesiangan." Claudia, yang sudah berdiri di atas beton pembatas, perlahan membalikkan badannya dengan senyuman lebar, mengangkat kedua lengannya, memberikan gestur sambutan kepada Delyon. "Lo ngapain ke sini hah? Kok bisa tau gue di sini?"

"Karena Kailani, Ci..." Delyon meneguk salivanya, penampilan Claudia yang kini begitu berantakan tanpa ampun menyayat hatinya. Rambut perempuan itu sama sekali tak tertata, dan kelopak matanya sudah jauh membengkak, dari derasnya air mata yang tengah mengering di sekujur pipinya. "Tolong, turun dari situ."

Claudia terkekeh, dan perlahan kekehan itu beralih berubah menjadi tawa lepas. Tawa yang jelas berisi ribuan luka. "Bukannya lo dulu mau membalaskan Kailani dengan mukulin gue? Sekarang gue sukarela mau mati, demi kesenangan hati lo! Jadi putar balik gih, jangan berisik."

Rasa bingung yang berpacu dengan detak jantungnya yang menggila membanjiri pikiran Delyon. Ia sudah menyebutkan tentang Kailani, namun Claudia bahkan tak terlihat peduli. Lalu apa lagi yang harus ia lakukan untuk meraih hati perempuan itu? Sampai akhirnya, Delyon pun teringat perkataan Kartika tentang apa yang tadi Claudia lakukan di UKS. "Jangan pikir trik murahan lo akan mempan ke gue. Buang topeng lo, sekeras apa pun lo nyoba, gue gak akan pergi dari sini."

Menyadari topengnya ketahuan, senyum itu pun perlahan pudar dari wajah Claudia, berganti dengan wajah sarau yang kini menatap Delyon dengan tatapan kosong. "Lo tadi bilang, lo dateng ke sini karena Kailani, kan? Gue juga di sini Karena Kailani. Jadi, tolong, biarin gue mati, Del. Gue udah gak tahan lagi-"

"Bukan gitu. Maksud gue itu, Kailani udah sadar, Ci." Delyon akhirnya berkata dengan nada tegas. "Kailani udah sadar. Dan dia yang minta gue nyelamatin lo ke sini."

Claudia mengerutkan keningnya, senyumnya mengembang lebar, "Ngarang ya lo, mana mungkin dia-"

"Tadi lo ke kamar rawat dia, kan? Sewaktu lo curhat, sebenernya dia udah setengah sadar, dan bisa denger semua yang lo bilang. Dia yang ngasih tau gue kalau lo kemungkinan besar bakal ada di sini. Dia tau, kalau lo bakal lompat dari gedung yang sama dari tempat dia dulu lompat," jelas Delyon panjang lebar sembari mengambil langkah pertamanya untuk mendekati Claudia.

Claudia menekan kedua ujung pelipisnya, menggeleng-geleng panik. "G-Gak, gak mungkin."

"Bukan sekedar mungkin, Claudia, tapi nyatanya emang kayak gitu." Delyon menurunkan nadanya, mencoba melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih lembut. "Setelah Kailani koma selama berbulan-bulan, pikiran pertama yang muncul di pikiran dia adalah nyelamatin diri lo."

DhatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang