4-11 • Dhatri

20 12 3
                                    

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"Kalau pertanyaan nomor dua puluh tiga, kamu jawabnya apa, Del? Kalau saya jawabnya C soalnya," Kartika bertanya penasaran sembari mengejar langkah Delyon.

Delyon yang sejak tadi melangkah santai pun seketika dibuat bingung oleh pertanyaan itu. "Lah lo jawab C? Gue jawab A njir."

"Gue juga jawabnya A," celetuk Laras.

Sementara itu, Alvin, yang berjalan di belakang Delyon dan Kartika pun menyejajarkan langkahnya, hanya untuk melontarkan pertanyaan dari dirinya yang justru lebih kebingungan lagi. "Lah, gue jawab D."

Kartika, Laras dan Delyon pun menatap Alvin serempak. "Nah ini yang paling ngaco."

"Kalau Kailani kayaknya capcipcup sih ya," canda Claudia sembari melirik jahil ke Kailani yang berada di kursi roda yang sedang didorong olehnya.

Kailani mengembungkan pipinya frustasi. "Gak adil bangettt Lani beneran gak tau sama sekali semua materinyaaa."

Mereka semua tertawa serempak, karena sejak hari pertama ujian kenaikan kelas diadakan, jelas-jelas Kailani yang tak hadir selama berbulan-bulan-lah yang jauh lebih kesulitan mengerjakan soal dibandingkan mereka semua.

Claudia pun mencoba menetralkan keadaan dengan berkata, "Yah... mau lo berusaha juga tetep aja pasti ngulang kelas sih Lan, jadi jangan terlalu dipusingin. Lagian lo bukannya bisa izin sakit aja ya? Kenapa lo maksain diri harus masuk sih?"

"Ya kan Lani mau ketemu kalian."

Claudia berhenti mendorong kursi roda Kailani untuk memeluk perempuan itu sejenak. "Aww jadi makin sayang deh."

Dan setelah mereka semua memasuki lapangan parkir mobil, Delyon pun bertanya, "By the way, Ci, lo parkirin mobil di sebelah mana?"

Dengan kedua tangannya yang masih mendorong kursi roda Kailani, Claudia pun menunjuk mobilnya dengan dagunya. Dan setelah melihat mobil yang Claudia maksud, Delyon pun segera berlari ke arah mobil itu, inisiatif membukakan pintu penumpang depan.

Tak butuh waktu lama bagi Kailani untuk tiba di samping mobil. Kartika pun membantu Kailani berdiri, kemudian menggendongnya sedikit supaya bisa masuk ke dalam kursi penumpang.

"Nih Ci kuncinya," ujar Delyon sembari menyerahkan kunci mobil itu kembali kepada Claudia.

"Sip, thanks ya." Dan setelah menerima kunci itu, Claudia pun berjalan masuk ke dalam kursi pengendara, kemudian menutup pintu mobilnya. Lewat kaca jendelanya yang masih terbuka, ia pun berpamitan kepada teman-temannya, "Gue sama Kailani duluan ya, bye gaisss."

"Hati-hati kaliannn."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Perlahan, gas mobil diinjak. Perjalanan pun dimulai. Namun, belum genap sepuluh detik sejak mobil itu melaju, Claudia segera menembak Kailani dengan pertanyaan, "Lo terlibat, ya?"

Pertanyaan itu tentu saja membuat Kailani tertawa kaku. "Kamu ngomongin apa sih, Claudia. Lani terlibat apa? Hehe..."

Claudia menggeleng-geleng tak percaya, dengan senyuman di bibirnya. "Beberapa hari ke belakang, pasti selalu ada alasan buat 'ngusir' gue, biar gue pulang duluan. Senin kalian nyuruh gue pulang duluan biar gue gak terlalu stres, terus besoknya Kartika tiba-tiba ngajak gue ke perpus, Rabu Delyon sama Alvin tiba-tiba ngajak ngafe dan juga hari ini, tiba-tiba lo minta gue nemenin ke rumah sakit. Padahal di tiga hari itu, setelah gue tancap gas keluar sekolah, kebanyakan dari kalian tetep di sekolah. Kalian ngerencanain sesuatu, kan?"

Kailani mengibaskan tangannya kaku. "Ah apasih kamu... kan kamu juga mau ke psikolog hari ini, jadi Lani sekalian mau nemenin, dan sekalian mau periksa rutin... Cocokologi itu namanya, jangan terlalu dipikirin deh."

Claudia menoleh kepada Kailani sesaat, sebelum matanya kembali menatap jalan. Senyumnya semakin lebar. "Dari semua temen gue, lo yang paling payah bohong."

Dan memang, dada Kailani berdetak begitu kencang karena ia merasa telah tertangkap basah. Padahal, mereka semua sudah merencanakan ini matang-matang, namun ia sama sekali tak menyangka bahwa Claudia akan menyadarinya begitu tepat.

"Kalian ada rencana apa sih? Berkaitan sama OSIS, ya? Kenapa gue gak dilibatin, hm? Gue udah gak dianggap anggotanya?"

"E-Eh bukan gitu-"

"Nahhh kan, keliatan dari reaksi lo, berarti kalian ngerencanain sesuatu, kan?" Claudia kembali menggeleng-geleng tak percaya.

Kailani pun merenung sejenak. Menimbang-nimbang akan respon apa yang haru dikatakannya supaya kejutan yang mereka rencanakan tak hancur berantakan. Sampai akhirnya, Kailani pun mengaku, "Iya, kita ngerencanain sesuatu. Dan bukan, ini bukan cuma urusan OSIS kok, tapi ini ngelibatin semua pelajar di SMA Dhatri. Dan bukan, kejutan ini bukan tentang kamu, tapi tentang Lani, karena Lani mau mereka semua mewujudkan salah satu mimpi Lani."

"Oh gitu...?" Claudia masih bertanya-tanya kenapa rencana itu dirahasiakan dari dirinya. Namun, rasanya terus bertanya tentang hal itu akan sia-sia. Karena semakin ia mendengar penjelasan Kailani, justru dirinya semakin dibuat bingung.

Lampu merah menyala, Claudia pun memberhentikan mobilnya. Di tengah lamunannya, sebuah pertanyaan pun kembali muncul di puncak kepalanya. "By the way... apa cita-cita lo?"

"Eh?" Kailani terkejut oleh perubahan topik yang begitu tiba-tiba.

"Jujur, waktu di hari di mana Aliansi nyerang ruangan OSIS, masih ada satu kata-kata Razone yang selama ini bergantung di kepala gue. Tapi gue rasa, nanyain hal ini ke orang lain itu sia-sia, karena gue mau langsung nanya ini ke diri lo." Claudia menoleh kepada Kailani. "Jadi... apa cita-cita lo?"

Kailani merasa bimbang menjawab pertanyaan itu. Karena pertanyaan itu membuatnya teringat kembali pada perlakuan terburuk yang pernah Claudia lakukan kepadanya. Namun, setelah menguatkan hatinya, ia pun akhirnya berani untuk menjawab, "Penulis."

"Penulis?"

"Iya, Lani bercita-cita jadi penulis."

"Bentar... jadi selama ini..." Claudia teringat pada hari-hari itu. Hari di mana ia merobekkan buku catatan Kailani, menertawakan puisi-puisi dan tulisan yang Kailani tulis, dan juga hari-hari di mana ia terus mengganggu Kailani yang sedang mencari tempat agar bisa sendiri. Claudia pun menyadari, bahwa Razone itu benar. Bahwa jika dirinya sedikit lebih peduli kepada Kailani, maka ia seharusnya menyadari cita-cita perempuan itu sejak dahulu.

Claudia menatap Kailani dengan tatapan memelas. "Lan... maafin gue, ya."

Kailani terdiam sebelum menggeleng pelan. "Maaf Ci. Tapi kalau kamu mau Lani memaafkan kamu atas semua itu, Lani perlu kamu buat bantu Lani menulis buku baru lagi, apa boleh?"

Claudia menjawab dengan nada yakin. "Pasti gue bantu, Lan!!!"

Senyum Kailani mengembang. "Okey, berarti nanti kalau udah masuk libur kenaikan kelas, kamu jadi narasumbernya, ya?"

"Narasumber...? Emangnya ini mau didasarkan kisah nyata?"

"Iya!" Kailani mengangguk semangat. "Karena buku baru Lani akan bercerita tentang perjuangan kalian semua, yang berhasil mengubah SMA Dhatri!"

Claudia terkekeh kaku. "Itu... berlebihan gak sih? Gue rasa, mereka semua sekarang berubah karena ceramah lo di upacara minggu lalu."

"Nggak kok! Bahkan, Lani rencananya mau ngebuat kamu jadi karakter utamanya." Kailani tersenyum riang. "Soalnya, karena kamu, sekarang Dhatri yang awalnya SMA dengan kasus kekerasan terbanyak di Bandung, sekarang justru jadi jauh lebih damai! Tanpa kamu, gak mungkin ada OSIS, dan tanpa kamu, Delyon, Kartika, Laras, Risa, Lily, kita semua gak mungkin bisa bersatu!"

Claudia tersenyum penuh haru, karena ia sama sekali tak menyangka kalimat yang begitu berharga itu akan keluar dari bibir perempuan yang telah paling banyak ia lukai itu. "Apa... lo udah punya ide judulnya?"

Kailani mengangguk dengan semangat, kemudian, dengan senyum penuh percaya diri, Kailani mengungkapkan judul buku yang akan ia tulis itu.

"Dhatri, Ci. Judulnya Dhatri."

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

DhatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang