1-12 • Alvin Pratama

37 15 1
                                    

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

───── ∘•∘ ⏮ ∘•∘ ─────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

───── ∘•∘ ⏮ ∘•∘ ─────

"Aduh... Sayang... Kok kamu bisa jatuh sih..." seru wanita itu gelisah, sembari berlari menuju putri kecilnya. Gadis berumur lima tahun yang menangis kencang di tengah semua keramaian pasar malam itu.

Setelah sampai di samping putrinya, wanita itu segera berjongkok, dan kemudian memeriksa seluruh tubuh Claudia. Dari ujung kaki sampai ujung tangan, dengan sigap ia memastikan apakah ada sebuah bekas luka yang muncul akibat tersungkurnya putri kecilnya itu. Dan untungnya, tak ada luka terbuka, melainkan hanya luka goresan kecil di lutut kanannya.

Walau tak ada luka di tubuhnya yang terlihat, tangis Claudia justru semakin menjadi-jadi. Rasa sakit yang seolah menyayat kaki kecilnya terasa begitu menyiksa. Dan keramaian yang mengelilingi dirinya justru beralih melirik ke arahnya, sama sekali tak membantu dirinya untuk berpikir tenang.

Sejak kecil, Claudia tak pernah menyukai ciuman, usapan, atau sentuhan fisik dalam bentuk apapun dan dari siapa pun. Bahkan, dari orang tuanya. Namun, anehnya, sebuah pelukan hangat selalu sukses menjadi satu-satunya jawaban dari tangisnya. Oleh karena itu, setelah melihat putrinya yang semakin menangis histeris, wanita itu memegang kedua pundak Claudia dengan lembut. Dan setelah Claudia membuka matanya, wanita itu segera menarik putrinya itu ke dalam pelukan hangatnya.

Pelukan yang selalu sukses membuat hati gusarnya menjadi tenang. Itulah pelukan yang selalu membuat dinginnya malam terasa hangat, dan itulah pelukan yang Claudia sebut "Rumah".

Detik demi detik berlalu, rasa sakit di kakinya seolah sirna tak tersisa. Keramaian yang berawal mengganggu ketenangannya pun perlahan tak lagi terdengar di telinganya, berganti dengan bisikan lembut dari Bundanya yang masih saja memeluk tubuh mungilnya. "Udah ya Sayang... Udah nangisnya. Teteh kuat kok..."

Menyadari tangisan putrinya itu sudah mulai reda, wanita itu pun dengan perlahan melepaskan pelukannya. Ia mulai membelai rambut Claudia dengan lembut. "Nah gitu dong, pinter, udah berhenti nangisnya. Sekarang, waktunya kita naik wahana favorit Teteh, oke?"

Perlahan, Claudia mendongak. Menatap komidi putar mini yang ada di hadapannya. Bayangan dirinya menaiki wahana itu cukup untuk mengukir senyuman bahagia di wajahnya. "Oke!"

Tanpa mereka sadari, itu adalah kali terakhir mereka menaiki wahana itu bersama.

───── ∘•∘ ⏭ ∘•∘ ─────

"Jadi, ada apa Ci?" Kartika menatap Claudia penuh rasa cemas. Sepanjang hari, perempuan itu terlihat tak fokus. Maka dari itu, Kartika mengajak Claudia untuk mengobrol sejenak di kantin setelah bel pulang berbunyi.

Namun, pertanyaan Kartika sama sekali tak masuk ke telinga Claudia. Claudia masih saja tak merespon. Matanya memandangi jus mangga yang baru saja dibelinya dengan pandangan yang begitu kosong.

"Ci..."

Claudia meringis pelan, air mata mulai menggenang di ujung mata kelopak matanya. Menyadari Claudia yang hendak menangis, Kartika pun inisiatif berpindah duduk ke samping Claudia, kemudian menempatkan kepala Claudia untuk bersender kepada pundaknya. Kartika pun mulai membelai rambut Claudia dengan lembut, sembari berkata, "Udah, keluarin aja."

Ringisan Claudia pun perlahan-lahan berubah menjadi rintihan tangis. Andai saja bisa berteriak, Claudia pasti sudah berteriak. Namun, teriakan itu berubah menjadi tangisan kelu yang mulai bergema pelan di pojok kantin yang sudah sepi itu.

"Gak papa, keluarin aja, gak perlu cerita dulu." Kartika kembali mengusap rambut Claudia, membiarkan air mata Claudia mengalir semakin deras. Kartika memang menyadari bahwa Claudia sedang banyak pikiran, namun ia sama sekali tak mengira bahwa air matanya akan langsung mengalir deras seperti ini.

Claudia berusaha berbicara, namun isak tangisnya justru mengalir semakin deras. Sementara Kartika memberi pelukannya yang semakin erat.

"Hey, maaf kalau ganggu." Tanpa mereka berdua sadari, seorang lelaki sudah berada tepat di samping Claudia. Lelaki itu adalah Alvin, salah satu lelaki anggota Aliansi yang juga satu kelas dengan Claudia dan juga Kartika. Rambutnya lurus, wajahnya terlihat manis, kulitnya putih dan sedikit kecoklatan, dan tingginya pun tak main-main. Dengan tubuh seperti itu, siapa pun yang melihat lelaki itu untuk pertama kali, pasti akan langsung menyadari bahwa lelaki itu kuat dan jago berkelahi.

"Gue cuma mau ngasih ini, barangkali membantu." Lelaki itu kemudian meletakkan dua bungkus yoghurt Cimory di atas meja mereka. "G-Gue duluan ya."

Lelaki itu melangkah menjauh, namun tertahan oleh Claudia yang ternyata menarik baju seragamnya sembari bergumam lemas, "Jangan pergi."

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"S-Siapa yang nulis ini semua Ci?" tanya Kartika sembari membalikkan satu per satu lembar buku itu.

Claudia, dengan air matanya yang sudah mengering, hanya bisa menggeleng lemas sembari menyedot yoghurt pemberian Alvin, sementara Kartika dan Alvin menilik satu per satu coretan yang ada di dalam buku Claudia dengan tatapan penuh horror.

"Kasar banget sumpah." Kontras dengan Kartika yang terlihat ikut bersedih, Alvin terlihat begitu marah setelah melihat semua coretan itu. "Emangnya mereka siapa nyuruh Cia mati segala?"

"Semuanya gak sesimpel itu Vin, gue nyatanya emang pernah ngebully, tapi masalahnya gue jadi bingung kenapa kabarnya bisa-"

"Gue gak tau siapa aja pelakunya, tapi gue tau sumbernya," potong Alvin, sembari mengeluarkan ponsel miliknya dari sakunya. "Lo ngerasa, perlakuan orang-orang di kelas tiba-tiba beda, kan?"

Claudia menekuk alisnya, kemudian mengangguk bingung. "Kok lo tau?"

"Nih..." Setelah mengoprak-aprik ponselnya, akhirnya Alvin pun memperlihatkan layar ponselnya kepada Kartika dan juga Claudia. Yang ternyata adalah foto samar di Claudia yang sedang merundung Kailani dan Kartika. Alvin pun menggeser foto itu, untuk menampilkan foto-foto lainnya. "Emang, wajah-wajah di foto ini gak keliatan begitu jelas, tapi bagi mereka yang udah sering liat Claudia, mereka pasti bisa mengenali Claudia di foto-foto ini."

Kartika pun bertanya kaku, "I-Itu sejak kapan beredar?"

"Kayaknya dari kemarin, deh. Dan emang baru tersebar luasnya di kelas kita doang." Alvin beralih menatap Claudia, untuk bertanya, "Ci, dari eskpresi lo, keliatannya lo tau siapa yang nyebarin fotonya ya?"

Dan memang, dari wajahnya, Claudia terlihat begitu syok. Namun, ia juga terlihat paham betul apa yang terjadi secara bersamaan. Karena, pada kejadian dari semua foto yang diambil itu, hanya ada satu perempuan yang memegang kamera, yaitu, "Laras."

"Tapi ada yang janggal, Ci." Jari Kartika mengetuk-ngetuk meja kantin, berpikir sejenak. "Tujuan dia bukan untuk mencemari nama kamu. Kalau emang itu tujuannya, pasti dia udah nyebarin foto atau video yang wajahnya jelas, supaya orang gak ragu kalau itu kamu." Tentu saja Kartika paham betul bahwa seharusnya ada foto dan juga video lain dari kejadian-kejadian itu, karena di beberapa kejadian di foto itu adalah saat dirinya dan juga Kailani yang dulu sedang dirundung oleh Claudia.

"Berarti, ini ancaman, ya..." Claudia mengangguk pelan, akhirnya mengerti maksud dari tindakan Laras. "Dia minta gue ngobrol sama dia. Kalau enggak, dia bakal nyebarin foto dan video yang lain."

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

DhatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang