2-10 • Juga Pernah Luka

23 11 4
                                    

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

Kedua lelaki yang tengah berdiri di depan gudang SMA Dhatri itu saling adu tatap. Alvin pun akhirnya bertanya, memecah keheningan. "Jadi, kemarin lo beneran gak ngapa-ngapain Claudia, kan?"

Delyon menggeleng lemah. Pemandangan yang justru membuat Alvin tertawa kaku, "Lo kenapa sih anjir? Kemarin-kemarin perasaan gak gini. Lagi galau ya?"

Delyon masih saja mematung. Tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya. Alvin pun menepuk pundak lelaki itu sembari tertawa ringan, "Hey, gue gak marah kok. Gue ngajak ngobrol ke sini cuma mau mastiin doang, gak ada maksud apa-apa. Sekarang gue tanya deh, lo ada masalah apa bre, kok jadi diem gini?"

Delyon akhirnya mengangkat kepalanya, dan kemudian bertanya dengan nada lemas, "Lo udah keluar dari Aliansi?"

Alvin terkejut dengan pertanyaan itu, namun tetap menjawab, "Iya, gue udah keluar dari Aliansi. Razone akhirnya rela ngelepasin gue karena kabar kalau gue kalah dari lo itu udah sampai di telinga dia."

"Jadi, semua yang lo dan Claudia jelasin beberapa hari yang lalu itu, itu bukan alasan yang dibuat-buat doang?"

"Yang... mana ya?"

"Itu loh, tentang alasan lo ngajak berantem gue sewaktu gue perkenalan, dan juga rencana kalian buat mendirikan ulang OSIS di SMA ini, itu semua beneran?"

"Ohhh yang itu," senyum Alvin mulai mengembang. "Iya, itu bener kok! Kenapa? Lo tertarik jadi ketua OSIS?!"

"Tertarik sih..." Delyon menggaruk tengkuknya. "Cuma, gue masih punya beberapa keraguan."

"Keraguannya apa tuh? Biar gue bantu jawab."

"Boleh. Tapi kita pindah ke kantin dulu yok, gue belum sarapan soalnya."

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

Sembari menunggu pesanannya selesai dibuat, Alvin dan Delyon pun memutuskan untuk duduk bersama di salah satu bangku yang tersedia di dekat mereka. Tak mau basa-basi lebih lanjut, Alvin pun kembali menanyakan tentang topik yang terakhir kali mereka bicarakan di depan gudang tadi.

"Gue mau nanya. Di mata lo, apa mungkin SMA Dhatri yang sekacau ini beneran bisa kita perbaiki?"

Alvin merenung sejenak. Ia kini tersadar bahwa efek dari tindakan dirinya di hari pertama Delyon masuk kelas itu justru berdampak ke dua arah. Yang mana berarti nama Delyon juga ikut melejit di telinga para pelajar Dhatri. Dan hal itu pasti membuat Delyon menyaksikan sebetapa kacaunya SMA tempat mereka berpijak ini. "Kalau gue sendiri sih, ragu ya. Tapi, gue percaya ke Claudia."

Delyon mengernyitkan keningnya. "Kenapa lo percaya ke dia?"

Alvin terdiam sejenak. Karena topik yang akan dibawakannya terasa sensitif, ia tak mau sampai salah memilih kata-kata. "Sejak malam di mana Kailani melakukan percobaan bunuh diri, dia emang berubah sedrastis itu, Del. Dia berhasil ngajak Laras berubah juga, dan juga bisa akrab sama Kartika dan juga Risa yang dulu korban bullynya dia. Selain mereka semua, dia juga udah bantu beberapa murid yang kurang mampu lewat donasi yang dia kasih ke mereka. Jadi, kalau perempuan itu emang bertekad mau menghapus bullying dari sekolah ini, gue percaya dia bisa."

Delyon mengangguk-ngangguk pelan. Kemudian kembali bertanya, "Kalau lo? Apa alasan lo berubah?"

"Ya... cerita stereotipikal remaja di novel-novel aja sih." Alvin menghembuskan napasnya malas. "Keluarga gue kecelakaan, Ibu gue meninggal, Ayah sama Adik gue masih dirawat, bla... bla... bla... Lo juga pasti gak mau denger semua itu. Tapi intinya, sejak hari itu, gue yang selama ini hobi malakin murid-murid yang lewat tangga, justru ngerasa kalau gue benci liat orang lain menderita."

DhatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang