3-15 • Jangan Lupa Senyum, Ya!

24 10 4
                                    

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"Gue udah beberapa kali ngechat dia dari hari Sabtu, dan dia cuma jawab sesekali doang, Tik. Jawabnya juga lambat banget, gak kayak biasanya," jelas Laras, yang wajahnya kini terpampang di monitor laptop Kartika bersama wajah Alvin dan juga Delyon.

Delyon menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian berteriak emosi. Setelah puas mengeluarkan emosinya, ia pun menyerocos dengan frustasi, "Giliran gue gak masuk, keadaan jadi sekacau ini? Gimana kalo kita datengin apartnya si Claudia aja?"

Laras menjawab bingung, "Duh, gue tuh emang tau dia tinggal di apart mana, cuma gue pun gak tau sebenernya dia tinggal di kamar yang mana, Del."

"Hah, serius? Bukannya kalian udah deket dari lama?"

"Iya, emang gue sama dia udah kenal dari awal kelas sepuluh. Cuma tiap kali gue bahas tentang apartnya dia, dia selalu ngehindar. Kayaknya ada kaitannya sama masalah keluarganya deh."

Kartika masih saja memegangi kepalanya, menahan perih dari benjolan yang ia dapat sejak kejadian dua hari lalu, di mana ia dikeroyok di kamar mandi bersama Claudia. "Duh, sumpah deh. Saya khawatir banget. Kalian semua sadar kan, beberapa hari ke belakang, dia itu sikapnya aneh banget."

Laras kembali berbicara, "Iya sumpah. Gue sama sekali gak pernah liat dia senyum lagi sejak hari Selasa."

Alvin yang sejak tadi terdiam pun akhirnya ikut bersuara, "Gue juga ngerti sih keadaan dia. Pasti berat banget kalau ke mana pun dia pergi, pasti ada aja yang punya niat jahat ke dia. Kita gak bisa sepenuhnya nutup fakta kalau ini karma dia, tapi kalau udah kayak gini kan kelewatan. Semua anak Dhatri main hakim sendiri, seolah dulu paling kenal sama Kailani. Bahkan Kartika juga jadi kena sampe babak belur kayak gitu."

Delyon menggosok-gosokkan wajahnya frustasi, kembali berteriak putus asa, "Anjinggg. Gue juga sebenernya mau maksain masuk Senin depan, kalau emang perlu buat ngelindungin dia, tapi tangan gue masih sakit banget ini. Kalau gue maksain takutnya malah tambah bengkak."

"Udah Del, jangan maksain diri kamu, kalau kamu butuh istirahat, istirahat aja ya." Kartika menatap satu per satu wajah teman-temannya itu. "Guys, pokoknya, kita lihat besok Senin. Kalau dia gak masuk, kita cari informasi kamar apartemennya sampe ketemu. Tapi kalau dia masuk, kita coba ngobrol sama dia baik-baik, ya? Soalnya Laras juga cerita, katanya Cia sempet ngebentak dia. Jadi kita harus coba pake cara sehalus mungkin. Oke?"

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"Tumben banget kamu pake seragam lengan panjang?" basa-basi Kartika, mencoba mengajak sahabat sebangkunya itu mengobrol. Namun, Claudia tak menggubris pertanyaan itu, dan justru kembali fokus mengerjakan tugasnya, sama sekali tak menghiraukan Kartika yang menatapnya dengan cemas.

Tak mau menyerah, Kartika pun kembali memanggil Claudia, kali ini dengan nada yang jauh lebih lembut. "Mayunda Claudia Putri..."

"Berisik," hardik Claudia dingin.

Kartika tertegun dengan respon Claudia yang begitu berbeda dari dirinya yang biasanya. Namun Kartika pun merasa tak enak jika bertanya lebih lanjut, karena takut akan memperburuk keadaan.

Bel istirahat pun akhirnya berbunyi. Claudia masih tak kunjung menghiraukan Kartika, dan justru langsung berdiri, menatap Kartika dengan tatapan dingin. "Minggir."

Setelah Kartika memberikan jalan, perempuan itu pun langsung berjalan ke depan, mengumpulkan tugasnya di atas meja guru, dan kemudian langsung berjalan keluar kelas bersama semua murid lain yang juga langsung melangkah keluar kelas.

"Lah?" Alvin yang menyaksikan semua itu dari bangku belakang kini berdiri di samping bangku Kartika, sama-sama menatap pintu kelas dengan seribu pertanyaan yang menumpuk di dalam kepalanya. "Lo udah nyoba tanya dia baik-baik kayak gitu pun, sikapnya justru tambah aneh."

"Hey." Kehadiran Laras yang tiba-tiba berdiri di tengah mereka membuat mereka seketika melompat kaget. Namun Laras sama sekali tak peduli dengan reaksi mereka, karena kini ada satu hal yang mengganjal di kepalanya. "Mungkin gak sih, dia merasa bersalah karena waktu itu Kartika jadi ikut babak belur waktu hari Jum'at?"

Kartika hendak meneriaki Laras yang hampir membuat jantungnya copot, namun kalimat yang diucapkan Laras itu membuat semua emosinya tenggelam begitu saja, berganti dengan pertanyaan, "Masa sih?"

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

Entah apa yang merasuki Claudia sampai-sampai ia melangkah ke luar kelas tanpa tujuan di keramaian yang dinamakan jam istirahat itu. Setelah kejadian di mading pada minggu lalu, bahkan memikirkan tentang kantin membuat dirinya takut. Karena ia tahu, bahwa semua tatapan itu akan siap menunggunya.

Tapi, apa bedanya dengan di tempat lain? Lorong lantai tiga, lorong lantai dua, lorong lantai satu, taman depan sekolah, taman belakang sekolah, lapangan basket, dan bahkan lapangan bola. Ke manapun ia pergi, semua pasang mata yang ada di sekitarnya pasti menoleh ke arahnya.

Entah apa yang ia cari. Namun, ia terus berjalan tanpa tujuan, berkeliling dengan tatapan kosong dengan kepalanya yang tertunduk, karena semua tatapan yang melihat ke arahnya terasa begitu berat di kepalanya. Kakinya terus melangkah walau rasa pegal sudah mencengkram setiap ototnya.

Kilasan wajah Kartika yang babak belur menyayat hatinya terus-menerus, dan ia tak kunjung bisa menghentikan pikirannya untuk berpikir tentang itu.

Semua orang di sekitarnya terus berbisik dan menertawakan dirinya, seolah sedang melihat hewan liar yang lepas dari kandanganya. Entah apa yang mereka bicarakan, karena mereka semua menjaga jarak, tak sudi untuk berdiri di dekat dirinya.

"PEMBUNUH! PEMBUNUH! PEMBUNUH!!!"

Sorakan itu tiba-tiba saja terlintas di kepalanya. Kakinya pun berhenti melangkah, dunia di sekitarnya tiba-tiba berputar.

"PEMBUNUH! PEMBUNUH! PEMBUNUH!!!"

Di tengah hiruk-piruk di kepalanya yang semakin bising, penglihatan Claudia tiba-tiba menjadi gelap, dan bahkan langit terik yang menyinari lingkungan sekolahnya pun sama sekali tak membantu, karena langit itu mendadak menjadi segelap langit malam.

Mulai merasa panik, Claudia yang sejak tadi menunduk pun akhirnya mengangkat kepalanya. Namun, tindakan itu justru memperburuk keadaan, karena ke mana pun ia melihat, tatapan-tatapan itu terus saja mengikutinya.

Bukan lagi puluhan, namun ratusan pasang mata yang penuh dengan kebencian dan rasa jijik itu. Mereka yang berdiri di sampingnya, yang berada di kejauhan, dan bahkan yang menatapnya jauh dari ketinggian lantai tiga pun memberikan tatapan itu.

Mulutnya hendak berteriak meminta tolong, namun semua suara di dalam tenggorokannya begitu kering, habis tak tersisa. Dan di detik itulah ia melihat siluet perempuan yang berdiri di atas rooftop, siap melompat kapan saja. Dan setelah ditilik lebih lanjut, Claudia pun menyadari wajah yang familiar itu, "Kailani...?"

Detak jantungnya semakin tak terkendali, diikuti dengan kilasan demi kilasan kejadian malam itu. Malam di mana ia menyaksikan Kailani yang tengah sekarat. Ingatan itu masih begitu segar, di mana ia melihat jelas tubuh Kailani yang hampir tak berbentuk, dengan genangan darah yang menggenangi aspal jalan.

Detak jantung Claudia semakin menggila pada setiap tarikan napasnya yang semakin cepat. Dengan penuh rasa takut, perlahan ia mengangkat tangannya, yang entah kenapa tiba-tiba terasa basah.

Horror tergambar jelas di wajahnya, diikuti dengan teriakan histeris di saat ia melihat bahwa tangannya dipenuhi oleh darah segar.

Claudia terus berteriak histeris, sama sekali tak peduli bahwa pita suaranya kini terasa begitu perih. Detik demi detik berlalu, teriakan itu masih saja terdengar bergema di setiap sudut SMA Dhatri. Namun, tak ada satu pun yang membantu Claudia, dan mereka semua justru menatapnya jijik dan bahkan ada juga menertawakannya. Sampai akhirnya, kesadaran Claudia direnggut secara paksa, dan akhirnya tubuh perempuan itu tergeletak tak sadarkan diri di tengah keramaian sekolah itu.

Sementara itu, Razone yang menyaksikan semua itu jauh dari lantai tiga justru tersenyum puas. Karena semuanya berjalan sesuai dengan harapannya.

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

DhatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang