3-11 • Hari yang Buruk

15 10 1
                                    

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"Dulu saya pernah dengar pepatah." Bu Nurul membalikkan badannya, menghadap kepada semua pelajar yang sedang mendengarkan penjelasannya. "Jika kita terbiasa tumbuh di lingkungan yang kotor, bahkan parfum yang wangi pun bisa menyengat di hidung kita. Yang mana bisa juga diartikan, kalau kita terbiasa diperlakukan buruk, bahkan perbuatan baik pun justru bisa membuat kita tidak nyaman."

Bu Nurul melingkari kata-kata yang sudah ia tulis pada papan tulis. "Jadi, kurang lebih kita mengakhiri materi bimbingan konseling hari ini sampai di sini. Apakah ada yang punya pertanyaan?"

Seorang siswa mengangkat tangannya tinggi. "Ibu, membunuh itu hal yang buruk kan ya?"

Kelas itu mendadak dipenuhi dengan tawa, yang terus berlangsung dan tak kunjung reda. Sementara itu, Bu Nurul hanya bisa memberi tatapan bingung, sembari tersenyum kaku, sama sekali tak mengerti alasan di balik semua tawa itu. "Betul, Nak. Karena membunuh itu jelas merenggut hak orang lain secara paksa."

Tawa di sepenjuru kelas justru semakin keras, yang tentu membuat Bu Nurul semakin kebingungan. Sementara itu, Claudia hanya bisa mematung total dengan dadanya yang terasa begitu sempit.

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"Apa kamu liat-liat?!" Kartika berseru pada tiga pelajar yang melihat ke arah mereka. "Sumpah ngeselin banget dari tadi ada aja yang ngeliatin."

Sejak Claudia dan Kartika melangkahkan kaki ke wilayah kantin, sampai ke detik ini, di mana mereka sedang menunggu jus yang mereka pesan untuk selesai dibuat, Claudia masih saja terus menunduk. "Udah gak papa Tik, biarin aja."

Kartika berdecik tak terima. "Apanya yang gak papa? Mereka semua selama ini gak pernah ada yang ngebelain waktu Kailani dibully, tapi sekarang sok-sokan yang paling ngerti masalahnya-"

"Wajar, mereka gak ada yang ngebela kalian, karena dulu mereka takut ke gue." Claudia mengakhiri kalimat itu dengan suara yang bergetar.

Menyadari nada yang keluar dari Claudia, Kartika segera menoleh kepada perempuan itu dengan panik.

"Gue kira gue bakal kuat, ternyata berat ya," ujar Claudia sedu sembari mengangkat kepalanya, memperlihatkan air mata yang ternyata sudah membasahi pipinya.

Rasa panik seketika mengendalikan tubuh Kartika setelah menyadari bahwa Claudia telah menangis sejak tadi. Kartika pun segera menggenggam lengan sahabatnya itu, kemudian membawanya berlari, berusaha menjauh dari keramaian. Berlari dan terus berlari. Entah ke mana, namun yang pasti, Kartika mencoba mencari tempat yang sepi.

Namun, tempat yang sepi tak kunjung mereka temukan, dan ke mana pun mereka pergi, rasanya, semua pasang mata dari berbagai arah selalu saja mengikuti langkah mereka. Lorong kelas sepuluh, taman belakang, lapangan basket, lapangan futsal, tempat demi tempat sudah mereka lewati, namun mereka tak kunjung menemukan tempat yang sepi. Rasanya, hari ini, entah kenapa, sekolah mereka yang luas itu terasa begitu sempit, dan begitu penuh.

"Kita coba ke tangga rooftop yang kemarin, ya? Kayaknya di situ kosong." Kartika bertanya di tengah langkahnya yang terburu-buru. Sementara itu, Claudia hanya menjawab dengan anggukan kaku, masih berusaha menahan air matanya yang sejak tadi masih saja terus mengalir.

Masih di tengah-tengah langkah paniknya, seorang siswi membentangkan kakinya di depan Claudia, dengan sengaja membuat Claudia tersandung ke depan. Kartika yang sejak tadi di depannya pun ikut terdorong, sampai mereka berdua tersungkur kasar di atas bebatuan taman.

"Aishhh." Kartika berdesis kesakitan. "Kamu gak papa Ci-" Mendadak, suara Kartika menghilang begitu saja ketika menyadari orang-orang yang ada di sekitar mereka justru tertawa dengan puas, dengan beberapa dari mereka yang justru asik merekam.

DhatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang