───── ∘•∘❉∘•∘ ─────
───── ∘•∘❉∘•∘ ─────
"A-Apa maksudnya?" Siswi itu masih kebingungan oleh sikap Claudia. Perempuan yang semula selalu menatapnya dingin dan tak pernah sudi membalas sapaannya, tiba-tiba mengajaknya duduk bersama dan mengobrol di bangku taman sekolah.
"Ya... gak ada maksud apa-apa Pau, gue cuma mau bantu lo aja."
Siswi itu berpikir sejenak, namun kembali menggeleng tak percaya. Pasalnya, siswi itu pun tahu bahwa Claudia dekat dengan anak-anak Aliansi. Maka dari itu, sikap Claudia di pagi itu terasa begitu janggal di matanya. "E-Enggak deh, serius, kamu mau saya ngapain? Sebutin aja, gak perlu pura-pura kayak gini..."
Claudia menepuk jidatnya sembari membuang napas lembut, bingung harus berkata apa lagi untuk mendapat keyakinan teman kelasnya itu. Pandangan orang lain terhadapnya sepertinya memang sudah seburuk itu sampai-sampai di saat ia berniat baik, siswi yang duduk di sampingnya ini justru mengira bahwa dirinya sedang memiliki maksud lain.
"Gini deh..." Claudia menggenggam kedua telapak tangan siswi itu dengan lembut, menatap matanya dengan senyumnya yang begitu bersahabat. "Kan selama ini lo selalu ranking satu di kelas, tapi, dari berita yang gue denger, itu karena lo juga harus berusaha meraih nilai yang stabil, karena lo itu dapet beasiswa dari sekolah. Itu bener nggak?"
Siswi itu mengangguk.
"Dan dari berita yang gue denger, sebenernya keadaan ekonomi lo sekarang lagi kesusahan. Itu bener nggak?"
Siswi itu kembali mengangguk.
"Nah, gimana kalau mulai hari ini, gue bantu kebutuhan belajar lo, sampai ekonomi keluarga lo stabil lagi?"
Senyum haru mulai mengembang pada wajah siswi itu. Namun, sedikit keraguan masih menyelimuti pikirannya. "I-Ini serius?"
Claudia ikut mengembangkan senyumnya, mencoba memenangkan kepercayaan siswi itu. "Iya... serius kok. Gimana? Gue kan ini udah punya nomor rekening lo, dari yang waktu itu bayar uang kas. Kalau... sepuluh juta cukup gak?"
Air mata mulai menggenang di ujung kelopak mata siswi itu. Bibirnya bergetar menahan tangis. "Itu justru kebanyakan, Claudia..."
"Ah, gak papa kok." Claudia mengibas tangannya. "Kalau lo mau beli novel, daftar les, atau kebutuhan lain buat ruangan belajar kamu: Meja, kursi, lampu, dan lain-lain, boleh juga kok. Kalau uangnya kurang, tinggal kabarin gue, gampang," jelas Claudia sembari mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dan setelah satu menit berlalu, uang sejumlah lima juta rupiah pun sudah terkirim sukses. Claudia memperlihatkan layar ponselnya kepada siswi itu. "Udah gue transfer ya."
Siswi itu menutup mulutnya dengan tatapan yang haru. "Makasih Claudiaaa..."
Tanpa mereka sadari, seorang lelaki tinggi berkulit putih, dengan rambut ikal berwarna kecoklatan sedang bersandar pada pohon yang tak jauh dari bangku tempat mereka duduk. Menguping semua pembicaraan mereka sejak awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dhatri
أدب المراهقينJika orang yang kau lukai, mulai melukai dirinya sendiri di hadapanmu, apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan menutup mata, atau mencoba menjadi obat bagi dirinya? Di malam itu, Claudia dipaksa untuk menjawab pertanyaan itu. Karena tubuh Kailani, m...