2-2 • Kehidupan Selanjutnya

35 12 9
                                    

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

───── ∘•∘❉∘•∘ ─────

"Ci," panggil Kartika berbisik. Karena pada jam istirahat di hari itu, Kartika, Claudia, dan Laras sedang membaca buku di perpustakaan SMA Dhatri.

Namun, bisikan Kartika justru ditertawakan oleh Laras. "Tik, ngapain lo bisik-bisik sih? Di sini sepi banget lagian."

Kartika menempelkan jari telunjuknya dengan emosi. "Sssttt. Walau sepi, tapi masih ada orang loh. Jangan berisik."

Laras memindai sekelilingnya. Dan memang benar, walau tak begitu banyak, masih ada orang selain mereka bertiga yang juga membaca di perpustakaan yang luas itu. Oleh karena itu, Laras pun akhirnya menurut pada perintah Kartika, dengan ikut memelankan suaranya. "Oke, deh..."

Melihat Laras yang sudah kembali asik dengan bukunya, Kartika pun kembali memanggil Claudia, "Ci."

"Hm?"

"Kalau reinkarnasi itu nyata, di kehidupan selanjutnya, kamu mau jadi siapa?"

Claudia melirik Kartika dengan alisnya yang tertekuk. Dan setelah menyadari bahwa pertanyaan itu muncul karena buku yang ada dipegang Kartika, ia pun terkekeh. "Pantesan kata-kata lo senja banget, lo hobi banget baca buku fantasi kayak gitu, ya?"

Kartika mengangguk sembari tersenyum ceria. "Saya suka banget buku fantasi! Selain karena ceritanya yang menarik, tapi novel fantasi juga biasanya punya worldbuilding yang gak kalah seru, saya suka kalau disuruh berimajinasi!"

Claudia tersenyum melihat Kartika yang menjelaskan hobinya dengan antusias. "Hmm, gitu ya? Pasti seru deh, kalau bisa menikmati buku kayak gitu. Tapi, berarti lo kebalikan dari gue. Karena, walau gue suka film fantasi, gue justru benci novel fantasi."

"Hahhh? Kok benci?"

Claudia berpikir sejenak, merangkai kata. "Karena... imajinasi gue tumpul. Lo pernah denger aphantasia, atau enggak?"

Kartika menggeleng.

"Nih ya gue jelasin. Jadi, aphantasia itu kondisi di mana mata pikiran kita itu buta."

"Mata pikiran?"

"Betul. Mata pikiran, alias imajinasi. Beda sama orang rata-rata yang bisa ngebayangin segala macem, mulai dari wajah, pemandangan, suasana, dan juga ide visual, gue justru sama sekali gak bisa ngebayangin itu. Dulu, Bunda gue bawa gue ke dokter, dan hasilnya, gue didiagnosa aphantasia tingkat berat. Yang mana artinya, gue gak bisa berimajinasi sama sekali. Sekarang, lo udah ngerti alasan gue benci novel fantasi?"

Kartika berpikir sejenak, sampai akhirnya, ia pun menemukan koneksi dari penjelasan Claudia barusan. "Oh, berarti kamu benci novel fantasi, karena bagi kamu, disuruh imajinasi itu berat, ya?"

DhatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang