Ch. 32 - Tentang Ego (21+)

230 22 5
                                    

"Ibu apakah aku masih bisa bahagia?" Tanya Aruna yang kini tengah membaringkan kepalanya di pangkuan ibu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ibu apakah aku masih bisa bahagia?" Tanya Aruna yang kini tengah membaringkan kepalanya di pangkuan ibu.

"Tentu. Semua berhak untuk bahagia Aruna." Jawab ibu sambil membelai rambut panjang anak gadis semata wayangnya itu.

"Tapi bagaimana dengan ibu? Apa ibu bahagia?"

Ibu mengangguk menjawab pertanyaan Aruna. "Ibu bahagia karena ibu memilikimu." Senyum hangat ibu membuat Aruna ikut tersenyum melihatnya.

"Terima kasih bu. Hanya saja, kurasa semesta tidak akan memberiku izin untuk bahagia karena aku harus menanggung konsekuensi dari apa yang sudah ayah lakukan."

Kini ganti ibu menggeleng pelan, tidak setuju dengan apa yang diucapkan Aruna. "Cerita ayah adalah miliknya, baik atau buruk maka dia yang akan menanggung konsekuensi itu sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang manusia." Jelas ibu sambil menangkup pipi chubby Aruna.

"Dan ceritamu, adalah milikmu Aruna. Kamu mungkin terluka karena apa yang sudah dilakukan ayah. Tapi luka itu masih bisa sembuh, karena konsekuensi yang sebenarnya jelas harus ditanggung oleh ayah."

"Bagaimana caranya aku bisa mengobati luka ini? Aku bahkan tidak pernah mengobati lukaku sendiri selama ini bu," tanya Aruna.

"Apa kamu yakin?Beberapa orang tidak bisa menilai dirinya sendiri disaat ia terluka. Bahkan dia juga bisa tidak sadar jika luka itu sudah terobati."

Tatapan Aruna tidak lepas dari ibunya. Sekedar menatap seperti ini saja sudah mampu untuk membuat Aruna merasa tenang. Senyum dan suara ibu, membuatnya selalu merasa nyaman.

"Kamu bisa bertahan sampai dititik ini, itu artinya kamu sudah merawat luka itu dengan baik. Luka yang berhasil membuatmu menjadi lebih dewasa."

"Tapi bagaimana bisa aku sudah merawat luka itu, jika sekarang aku malah berakhir hilang percaya pada orang lain?" Aruna masih menyanggah apa yang ibunya katakan.

"Setiap pertanyaan pasti ada jawabannya, untuk itu yang perlu kamu lakukan adalah kembali berusaha dan bertahan seperti apa yang sudah kamu lakukan sebelumnya Aruna."

Jawaban ibu tidak memberi kepuasan untuk Aruna. Sayang, belum sempat Aruna kembali melontarkan protesnya lebih jauh, ibu sudah lebih dulu pergi meninggalkannya.

Tiba-tiba saja kepalanya kembali terasa berat. Pandangannya kembali buram. Suara berisik orang-orang yang dikenalnya memenuhi kepala Aruna. Protes Reina, tawa renyah Keenan dan Kainan, suara ayah, Reijiro, Luna hingga kalimat khawatir yang berulang kali dilontarkan Jean dan Mahen ikut mencampuri pendengarannya.

"Benarkah aku sudah hilang percaya dengan orang lain? Atau aku hanya takut dengan bayang-bayang dari konsekuensi itu?" Tanya Aruna pada dirinya sendiri.

Aksa AmertaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang