"Papa?"
Kimara menggeliat kecil di atas kasurnya setelah melihat jam yang masih menunjukkan pukul 06.30. Seharusnya ketenangan pagi masih bisa perempuan itu rasakan, tapi tidak setelah ia mendengar teriakan Sang ayah yang menggelegar sembari menggedor-gedor pintu kamarnya brutal.
Begitu pintu terbuka, Regar Laiadinuar langsung menampar bolak-balik pipi putrinya sampai anak itu memekik tertahan. Melalui tatapan matanya saja sudah bisa menjelaskan jika lelaki itu tengah berada pada titik amarah tak terbendung.
"Pa..." Suara Kimara bergetar ketakutan. Perih di kedua pipinya menjalar dengan cepat.
"Anak tidak tau malu ya kamu ini," desis Regar, tangan kasarnya menjambak rambut panjang putrinya dengan kuat.
"Kenapa, aku salah apa?" Ia meringis saat cengkraman pada kepalanya semakin menguat.
"Kamu masih bertanya kenapa?" Lelaki itu menyeringai, "harusnya Papa yang bertanya! Kenapa kamu berani-beraninya mendekati anak dari Agras Mahagra?!"
"A-aku..."
"Anak sialan!!!"
Bersamaan amarahnya yang semakin meledak-ledak, Regar lalu membawa Kimara ke kamar mandi dengan cara menarik rambutnya. Ia dorong tubuh lunglai itu hingga terhuyung pada lantai yang dingin. Tangannya yang gesit segera menyalakan shower yang mana airnya langsung mengguyur tubuh putrinya.
"Kimara, kamu benar-benar tidak tau diri," Regar berjongkok, menatap anaknya yang tengah memeluk kedua lututnya.
"Papa.."
"Anak angkat harus tau dimana posisinya."
Dua tamparan kembali Regar berikan. Lelaki itu lantas bangkit, lalu mengambil kembali helaian rambut yang membuat pemiliknya merangkak pada lantai mengikuti langkah kakinya.
Kepala Kimara sudah kebas rasanya. Kedua pipinya dipastikan memerah, tanda seberapa keras Regar menamparnya. Air matanya berjatuhan. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya agar tak bersuara karena nantinya akan membuat ayahnya semakin murka.
Dalam sekejap, Regar melempar tubuh lemah itu sampai kepalanya terbentur bathub. "Hukuman untuk anak tidak tau terima kasih."
"Pa..." suaranya melemah, rasa pening di kepalanya sudah berputar-putar sampai pandangannya mulai kunang-kunang.
"Ternyata tidak cukup ya selama ini Papa injak-injak kaki kamu? Sekarang kamu mau merasakan injakan kaki Papa di tangan?"
"Enggak, Pah, jangan lagi—"
Kimara hanya bisa membekap mulutnya sendiri saat ayahnya mulai menginjak-injak tangannya menggunakan kaki terbalut sepatu pantofel itu. Benar-benar menyakitkan sampai tulang-tulang di tangannya terasa patah.
Regar Laiadinuar seperti orang kesetanan. Ia semakin mempercepat injakannya.
"Bangun."
Perintah mutlak itu tak bisa Kimara hindari. Ia berdiri susah payah seraya memegang tangan kirinya.
"Ingat perkataan Papa, jangan pernah sekali-kali kamu mencoba menjalin hubungan dengan keluarga mereka. Kamu harus tau siapa diri kamu ini. Ingat, harus punya malu!"
Sebagai pelampiasan terakhir amarahnya, Regar mendorong tubuh Kimara kuat sampai mengenai wastafel.
Kimara merintih kesakitan, amat sangat sakit ketika tangannya yang diinjak-injak tadi harus terbentur keras ke sisi wastafel. Tubuhnya langsung ambruk. Pandangannya nge-blur lalu perlahan menggelap seiring matanya yang terpejam, tak sadarkan diri.