26 : we can be friends?

116 25 5
                                    

               "Pakai obatnya sendiri, bisa?"

Kotak putih berisi obat-obatan baru saja disimpan Eknath Mahagra di atas meja, tepat kehadapan perempuan berambut kecoklatan terang yang duduk canggung pada sofa.

"Iya, bisa. Terima kasih. Maaf merepotkan."

Obat-obatan itu diperlukan karena kaki Si perempuan terkena pecahan gelas kaca yang jatuh akibat ulahnya sendiri saat ia akan mengambil air di dapur. Letak lukanya ada di sekitar punggung kaki. Goresan kaca itu menyebabkan darah keluar yang mana warnanya begitu kontras dengan kulit putihnya.

Entah bagaimana detailnya. Eknath hanya diminta oleh Klaudia untuk memberikan kotak obat kepada perempuan tersebut. Alhasil, anak tengah Mahagra itu pun harus menunda sebentar kepergiannya ke kantor.

"Bisa, ngga?" tanya Eknath lagi, sebab Alaia malah terdiam. "Kenapa tangan lo gemeter?"

Alaia mengerjap, ia langsung menyatukan kedua tangannya. "Bisa, saya bisa sendiri, kok. Kalau kamu mau berangkat kerja, silahkan. Saya ngga apa-apa."

Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa Alaia bisa ada di sini padahal hari masih terbilang pagi? Iya, itu karena Agras mengundangnya untuk menghadiri jadwal rapat bulanan yang rutin diadakan setiap akhir bulan bersama tim kerjanya di rumah ini. Jadi, bukan hanya ada Alaia saja tapi rekan-rekan yang lainnya juga.

Melihat gelagat Alaia yang sedikit aneh membuat Eknath jadi ragu untuk pergi. Keadaan tubuh Alaia seperti bukan menunjukkan sakit karena lukanya, tapi karena hal lain.

"Tunggu, stop," selanya saat melihat perempuan itu mengeluarkan obat merah. "Jangan di kasih obat merah dulu. Tunggu sebentar."

Tentu Alaia kebingungan atas larangan tersebut. Apalagi melihat Eknath yang malah berjalan ke arah dapur. Tapi, terlepas dari itu, ia masih berusaha mengontrol gemetar pada kedua tangganya agar menenang.

"Minum dulu." Rupanya Eknath pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih dan air hangat pada wadah. "Biar gue bersihin lukanya,"

"J-jangan!" tolaknya. "Saya bisa sendiri, Eknath. Biar saya saja." Namun percuma. Kalimatnya hanya berakhir dihiraukan.

"Bisa sendiri dengan keadaan tangan lo yang gemeter gitu?" Sindir Eknath membuat Alaia menundukkan kepala.

Sejenak, Eknath menggulung lengan panjang kemejanya sampai siku. Diambilnya kain kasa dari dalam kotak untuk ia basahi agar bisa membersihkan sisa-sisa darah pada luka Alaia. Lelaki itu melakukannya dengan penuh kehati-hatian tanpa canggung sama sekali.

"Maaf, saya merepotkan—"

"Di minum. Lo belum minum airnya."

Tepat. Perintah dingin itu seakan menjadi titah mutlak bagi Alaia sehingga ia tak keberatan akan kalimatnya yang disanggah. Langsung saja ia meraih gelas dengan kedua tangannya kuat-kuat. Ia meminumnya sebanyak dua teguk.

"Habis di marahin Om Lukman?" Eknath bertanya ditengah-tengah kegiatannya. "Gue sempet denger tadi lo debat sama dia. Engga aneh sih. Gue udah sering liat Om Lukman marah-marah setiap kali rapat di rumah. Emang orangnya emosaian. Apalagi sama orang baru kaya lo yang statusnya masih magang. Sasaran empuk kena omelannya."

Oh, jadi lelaki itu mendengarnya, ya? Alaia tak bisa menjawab. Ia hanya mengatupkan mulut dan tersentak kecil saat lukanya berdenyut. Gelasnya masih ia pegang erat.

"Jangan-jangan gelas itu pecah karena tangan lo ngga bisa pegang kuat gelasnya? Tangan lo tremor setelah kena marah?"

Alaia yang diam sudah merupakan jawaban bagi Eknath. Langkah selanjutnya ia mengambil cairan antiseptik untuk di oleskan. "Maaf kalo perih, tahan sebentar."

LABYRINTH : HOW DID IT END?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang