Rain brings a kind of magic and makes some people feel a sense of peace. Kimara Laiadinuar menyukai hujan di awal bulan ini. Cepat sekali musim berganti. Secepat dirinya yang melupakan segala kepahitan dalam sesi tiap sesi hidupnya. Ia membiarkan kepahitan itu terbawa arus air hujan dan pergi jauh sampai di lautan sana. Ya, begitu. Ia tidak ingin terlalu hanyut lebur bersama rasa pahitnya.
Ah, ngomong-ngomong soal lautan, Kimara jadi merindukan ocean-nya itu.
"Kak, kok ngelamun?" tegur Jenoval yang tengah membelah hujan. Maksudnya, mengendarai mobilnya di tengah-tengah hujan lebat dengan Kimara yang ada di sisinya.
Perempuan itu lantas mengerjap, "Eh, emang iya ya?"
"Ngelamunin Kak Ose pasti."
Kimara hanya mengulas senyum untuk mengiyakannya.
Sudah satu pekan ini Kimara memilih keluar dari kediaman Mahagra. Ya, atas itikad sendiri ia memutuskan untuk menempati indekos. Ia ingin membiayai hidupnya sendiri. Dan berita bagusnya, Kimara juga sudah bekerja sekarang.
"Tinggal belok kanan udah sampai kan?"
"Iya, hati-hati, Jen."
Jadi, mereka ada dalam perjalanan ke kantor Kimara pada pagi yang lembab. Sebenarnya situasi ini terjadi atas usulan Klaudia. Wanita tiga anak itu menyuruh putra bungsunya untuk menjemput Kimara lalu mengantarkannya ke tempat kerja.
Karena hujan lebat sudah mengguyur kota sejak hari masih awam, Klaudia khawatir Kimara akan kesusahan saat naik angkutan umum. Sedangkan dua putra lainnya sudah disibukkan oleh pekerjaan masing-masing. Hanya ada Jenoval di rumah. Itu kenapa mereka berdua bersama sekarang.
"Kak Kim," ujar Jenoval, saat mobilnya sudah terparkir di tepi jalan dekat area gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi.
Sebelum menjawab, Kimara melepas sabuk pengamannya sejenak. "Iya, kenapa?"
"Boleh peluk sebentar?"
"Hng?"
"Boleh aku peluk Kakak sebentar?"
"J-jen?"
Kimara masih terkesiap saat ia melihat lelaki berhidung mancung itu melepas safety belt-nya dan mulai mencondongkan tubuh ke arahnya.
—lalu, memeluknya.
"Makasih udah bertahan sejauh ini ya, Kak." Jenoval menepuk-nepuk kecil punggung kaku Kimara. "Kakak tau? Waktu aku mash kecil Ibun selalu bilang kalo aku punya 3 Kakak. Bukan cuman Kak Osean sama Eknath aja. Tapi aku punya satu Kakak perempuan lagi yang namanya Kak Sylana— sekarang jadi Kimara?"
Mereka berdua sama-sama tersenyum kemudian. Senyumnya persis. Tubuh Kimara pun tidak sekaku tadinya lagi. Ia ikut menepuk-nepuk punggung Jenoval yang terasa kokoh ditangannya.
"Sama-sama, Jen," katanya. "Beruntung banget aku bisa punya adik laki-laki seganteng ini."
Senyum Jenoval semakin mengembang dibuatnya. "Sekarang aku bisa tenang karena Ibun udah ketemu sama Kakak. Selama ini, hidupnya selalu dipenuhi rasa bersalah atas Tante Hema karena ngga bisa tepatin janjinya. Dan sekarang tinggal aku yang buat janji, janji bakal selalu lindungin Ibun sama Kakak."
Menghela, Kimara perlahan melepaskan pelukan mereka. "Makasih juga ya, Jeno. Nanti kita ngobrol lagi— ah, kapan-kapan kamu bisa ajarin Kakak balapan? Aku penasaran. Katanya kamu sering main di sirkuit, ya?"
Wah, Jenoval cukup terkejut mendengar permintaan tersebut. "Iya gampang, Kak. Bisa nyetir mobil kan tapi?"
"Sayangnya ... engga."
KAMU SEDANG MEMBACA
LABYRINTH : HOW DID IT END?
Fiksi Penggemar"Please, tell the ocean that I love him"