"Good morning my white."
Selamat pagi. Sayang sekali langit masih terlihat gelap karena mendung yang menghalang sinar Sang surya untuk menyentuh bumi. Jika tidak, mungkin tirai yang disibakkan lelaki itu dapat menghantarkan cahaya hangat melalui celah jendela yang jatuh langsung pada wajah istrinya.
"Good morning my white— my wife."
Osean mengulang kalimatnya. Beruntung, kali ini Kimara tampak melenguh singkat bersama tubuhnya yang berkutik. Matanya tetap terpejam. Tapi Osean yakin Kimara sudah mendengar sapaan paginya.
"Masih mau tidur, sayang?"
Menunggu lima detik, Osean tersenyum. Kimara belum mau membuka bibir untuk menjawab. Perempuan itu malah mengatur posisi kepalanya, menaruh lipatan tangan pada pipi agar posisinya lebih nyaman pada bantal. Entahlah, mungkin sungguh ingin tidur lagi?
"Aku bikin sarapan dulu, ya."
Senyap.
Maka dari itu Osean berjalan keluar kamar setelah memperhatikan wajah Kimara beberapa saat. Satu sudut bibirnya tersungging, lagi. Ia harap pagi berkabut ini bisa membawa keajaiban. Semoga Kimara dapat kembali sesuai apa yang dikatakan Olivia semalam.
Namun..
Osean tidak benar-benar ingkah dari kamar. Ia berdiri di luar pintu yang tidak tertutup sepenuhnya. Osean menunggu beberapa menit— tidak, bahkan jika dihitung-hitung akan kurang dari satu menit. Ia langsung bisa melihat Kimara yang bangkit dari tidurnya lalu duduk pada tepi ranjang menghadap jendela yang tirainya ia buka tadi.
Masih marah, Kim?
Tak apa jika begitu. Asalkan Kimara tidak kembali menyakiti dirinya seperti kemarin, tidak mau bicara dengannya pun akan Osean terima.
***
"Ada panekuk sama sandwich. Ada cokelat panas juga. Tapi kalo kamu ngga mau, aku bikin hot peach tea yang biasa kamu minum. Tinggal di seduh aja, bukan? Hujan gini enaknya sarapan yang hangat-hangat."
Oh, jangan lupa jika Osean jauh lebih unggul soal memasak. Seperti apa kata Klaudia.
Kimara turun dari kamar setelah Osean selesai membuat menu-menu sederhana sebisa tangannya bekerja. Lelaki itu berharap-harap cemas sekarang, menunggu istrinya untuk menyentuh makanannya.
Perban di pergelangan tangannya masih tergulung rapih. Kimara memilih mug merah muda berisikan teh lalu menyesapnya.
"Engga terlalu panas, kan?" tanya Osean. Kedua matanya se-serius itu menunggu respon istrinya.
Tegukkan kedua. Secara tidak langsung sudah menjawab pertanyaan jika teh itu tidak begitu panas. Bisa diminum. Osean menghela lega.
Sekali lagi, tak apa jika Kimara belum mau bicara.
"Seminggu ke depan aku bakal selesain kerjaan di rumah sayang, jadi kita punya banyak waktu berdua." Osean sengaja tidak memberikan kalimat pertanyaan. Selain memang tau tidak akan dijawab, ia juga takut Kimara merasa terganggu.
Sejujurnya, pekerjaannya sedang menumpuk. Salah satunya harus ikut rapat agenda menentukan calon klien yang nantinya akan disetujui atau tidak oleh firma hukumnya. Masih firma hukum milik Agras.
"Itu sandwich daging sama telur," kata Osean, ketika melihat istrinya memotong roti isian tersebut. "Isinya ada beef, telur, keju, daun parsley, mayonnaise, sama saos tomat."
Satu suapan berhasil Kimara icip. Osean tau jika perempuan itu selalu menyukai masakannya. Tapi karena situasi sekarang berbeda, ia sedikit cemas. Bagaimana jika tiba-tiba Kimara melepehkan makanannya lalu melempar piring dan gelasnya? Ya ampun pikiran lelaki itu.