31 : trauma after trauma

116 33 30
                                    

               "Boleh Ayah gabung, Kak?"

Setelah kalimatnya diberi persetujuan hangat, Agras Mahagra mendekat ke samping putra sulungnya. Malam dingin setelah hampir satu minggu tidak turun hujan. Duduk pada teras paviliun di tengah-tengah pagar kecoklatan yang membatasi. Geranium berbagai warna menjadi objek paling mencolok diantara bunga yang lain.

Bunga yang tetap tumbuh walaupun tidak akan tersentuh tangan pemiliknya lagi. Tetap berbunga lebat meski tanpa senandung lirih pemiliknya.

"Kangen Bunda, ya?" Pertanyaan kedua Agras menyelinap diantara mereka. Lagi, Osean hanya mengangguk bersama senyum tipis. Sangat tipis.

"Sama, Ayah juga kangen. Tiga hari lalu Ayah bahkan sengaja tidur di paviliun."

Lelaki yang wajahnya terlihat jauh dari kata baik itu menoleh singkat. "Emangnya Ibun ngga marah?"

"Itu dia. Supaya Ibun ngga marah, Ayah ajak dia tidur sama-sama di sini. Untungnya Klaudia mau. Kita makan malam di teras ini juga. Duduk lesehan. Jenoval nyusul karena ngga mau satu meja sama Eknath yang ngajak ribut terus. Tapi ngga lama setelahnya, Eknath juga gabung. Dia bawa piringnya sendiri dari rumah. Jenoval kesal karena Eknath ambil jatah roladenya."

Manis. Osean bisa membayangkan bagaimana bahagianya mereka. Dulu, ia selalu menjadi penengah jika Eknath dan Jenoval sudah tidak terkontrol. Klaudia angkat tangan. Walaupun tak jarang ia tertular kesal karena dua adiknya tidak mau menurut. Itu menyebalkan. Tapi bisa menjadi kenangan yang manis ketika diingat.

"Seberapa besar cinta Ayah dulu sama Bunda Liana?" Berganti, sekarang Osean yang bertanya.

"Kenapa harus dulu? Sebenarnya sampai sekarang pun perasaan Ayah tidak berubah kepada Liana. Hanya saja, dalam bentuk yang lain. Liana itu perempuan yang saat mendapatkannya, Ayah langsung ingin segera menikahinya."

Dua helai daun kering bergesekkan dengan lembabnya tanah akibat sapuan angin. Osean memperhatikannya, melihat seberapa jauh daun itu terbawa walaupun hanya beberapa senti.

"Tapi Ayah gagal, Kak." Agras tersenyum kecut. Kepalanya menunduk. "Gagal mengekpresikan rasa cinta yang terlalu menggebu. Jika kamu ingin menyalahkan seseorang atas perubahan sikap Liana kala itu, maka salahkan Ayahmu ini. Ayah menyesal tidak ada disampingnya saat titik terendahnya."

Sepasang anak dan ayah itu sama-sama diam.

Saat ibunya tiada, Liana merasa kehilangan tumpuan hidup. Apalagi posisinya ketika baru saja melahirkan anak kedua. Satu-satunya pegangannya adalah suaminya. Tapi sayang, kala itu Agras terlalu sibuk dengan pekerjaan yang katanya tidak bisa ditunda.

Itulah penyesalan Agras. Lelaki itu tidak menyangka jika dampaknya akan sangat merubah hidup Liana menjadi liar. Yang paling kasihan lagi sudah pasti anak-anak. Korban sesungguhnya.

Tidak ada pilihan selain menceraikan Liana yang terlanjur hidup sesukanya. Liana semakin kelewat batas. Dipertahankan pun tidak menjamin apa-apa. Sedangkan Agras membutuhkan sosok ibu untuk Osean dan Eknath. Kendati demikian, sungguh Agras masih mencintai Liana. Cinta dalam bentuk lain.

Bukankah cinta itu ada banyak bentuknya?

Klaudia? Tidak mungkin rumah tangga mereka bertahan sejauh ini jika tidak dipupuk dengan cinta. Agras menyesal bukan berarti ia tidak menikmati hidup dengan Klaudia. Mereka sempurna. Terutama di mata anak-anak. Dewasa yang sesungguhnya adalah Agras dan Klaudia.

"Gimana perasaan Ayah waktu gugat cerai Bunda? Apa perceraian itu harus?"

Tidak, hanya dengan melihat pancaran sinar redup dari kedua mata putranya saja Agras sudah tau. Osean adalah anak pertamanya. Setiap perasaan yang dilalui Osean akan selalu terlihat dari wajah berpahatan sempurna itu.

LABYRINTH : HOW DID IT END?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang