17 : a tender kiss

160 38 40
                                    

          Osean's POV

               "How to say 'I love you' without saying 'I love you', Kim?"

               "Just kiss me."

               "Ya?"

               "One kiss and I promise—"

Aku tidak membiarkan kalimatnya terselesaikan karena bibirku terlanjur mendarat pada bibir tipis merah mudanya. Kami melakukannya, iya, ciuman pertama yang lembut penuh cinta. Tidak menggebu-gebu apalagi menuntut. Setiap kali bibirku memangutnya, aku memberikan kesempatan untuknya membalas. Gerakan bibirnya begitu ragu. Aku tau dia belum mahir.

It's a tender kiss.

Di luar hujan lebat masih mengguyur. Sedangkan aku dan Kimara memilih untuk tetap berada di dalam mobil yang terparkir. Suara air yang jatuh mengetuk-ngetuk kaca mobil benar-benar tak bisa sedikitpun mengalihkan perhatian masing-masing dari kami.

Helaan napasnya menerpa kulit wajahku setelah bibir kami kembali berjarak. Aku tempelkan keningku pada keningnya. Tak di sangka ujung hidungku jadi mengenai pucuk hidung mungilnya. Lucu sekali. Hal itu rupanya membuat kami sama-sama tertawa.

Sebagai akhir, aku pun mengecup singkat lagi bibirnya.

"T-thank you, Kak," ujarnya gugup, sambil sedikit menyelipkan rambut ke belakang telinga, tersipu.

"Thank you?" Alisku bertaut penasaran. "Maksudnya thank you buat ciumannya?"

"B-bukan— eung, iya, ya.. ya makasih buat semuanya deh." Ia memalingkan wajah malu-malu dan itu terlihat, gemas.

Sejujurnya, aku bisa menebak maksud akan kalimat Kimara. Mungkin ia ingin berterima kasih karena akhirnya aku mau memberanikan diri untuk mengambil keputusan yang menyangkut masa depan kami berdua. Hanya saja, aku memang sengaja menggodanya.

"Di deket sini ngga ada tea shop ya?" tanyaku, setelah melihat sekitar.

"Kalo ada kayanya kita lebih baik neduh di sana daripada di mobil, Kak."

Benar juga.

Terjebak di mobil ini sudah sekitar setengah jam setelah aku menjemputnya dari kantor. Karena Kimara sudah tidak tinggal di rumah lagi, aku harus selalu mencari alasan agar bisa selalu bertemu dengannya setiap hari. Maka menjadi sopir antar jemputnya adalah alasanku. Walaupun resikonya aku harus memutar jalan lebih jauh lagi karena arah tempat kerja kami berlawanan.

Entahlah, saat tanggal pernikahan kami sudah ditentukan, rasanya aku semakin tidak bisa menahan diri untuk berjauhan dengannya.

Aku selalu merindukannya. Maaf jika ini sedikit terdengar menggelikan.

"Jangan ngehindar lagi kaya waktu itu ya Kim. Apalagi sampai nutup semua akses komunikasi."

Aku berkata begitu karena, saat malam di mana aku membawa Kimara pada Bunda untuk meminta restu, dia tiba-tiba saja bersikap aneh. Iya, aneh. Tepat setelah aku berkata akan menikahinya. Bagaimana bisa dia langsung berlari terbirit-birit meninggalkan paviliun lalu bergegas pulang ke indekosnya tanpa berpamitan kepada siapapun?

Lebih parahnya lagi, Kimara baru menghubungi aku setelah dua hari berlalu. Setelah nomor dan akun sosial mediaku tidak di blokir lagi olehnya.

Keterlaluan, bukan?

Selama itu kita lost contac dan tidak bertemu. Apa aku tidak inisiatif mengunjunginya? Sudah. Tapi malah berakhir aku yang diusir pemilik indekos karena dicurigai sedang memata-matai pintu kamar Kimara.

LABYRINTH : HOW DID IT END?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang