In another multiverse? Shhh, she and I will always be together, even if it's just stones and sand on the beach.
-- engines --***
Semilir angin pada pertengahan 10.00 pagi seakan menyapa kedatangan mereka, yang baru saja memasuki kawasan tanah luas dengan pohon-pohon kamboja yang bunganya banyak berjatuhan di beberapa sudut. Suara dedaunan kering nampak bergulung terbawa sapuan hawa dingin, ikut menyambut dua insan yang kompak berpakaian putih tersebut bersamaan.
Jika di hari kemarin Kimara dan Osean disibukkan oleh fitting baju dan survey venue, maka di kesempatan akhir pekan ini mereka memutuskan untuk berpergian ke suatu tempat. Tempat yang merupakan kali kedua mereka menginjakkan kaki di sana.
Suasananya terasa begitu tenang. Tidak panas, tidak mendung, tapi mendukung.
"Hai, Ibu." Si perempuan menekuk lututnya pada tanah yang dipenuhi rerumputan, tak peduli jika gaun putih bersihnya akan kotor. Ia menyiapkan diri sambil menghela. "Anak Ibu ada di sini lagi sekarang. Sama seperti hari sebelumnya, aku ngga datang sendirian karena ada Osean juga yang selalu ada buat aku. Ibu belum lupa, kan? Osean? Kita berdua sengaja ada di sini buat kasih kabar baik."
Mengusap sekilas nisan yang bertuliskan nama Hemalaya, Kimara lalu menyimpan sebuket bunga mawar putih di dekatnya.
Osean yang melihat itu pun segera menaburkan kelopak-kelopak bunga yang didominasi warna merah ke atas tumpukan tanah yang menggunung tersebut.
"Ibu Hema," ucap Osean, ia menempatkan diri di hadapan Kimara. "Sesuai apa yang Kimara bilang barusan, aku datang lagi ke sini. Aku harap Ibu masih inget aku." Ia menjeda sejenak. Senyumnya tersungging. "Dan soal kabar baiknya, kabar itu tentang kita berdua. Sebentar lagi kita mau menikah. Dan sekarang aku mau minta izin buat menikahi putri Ibu, Sylana Hemarumi."
Menyeka air matanya cepat-cepat saat genangan di pelupuk matanya akan mengalir, Kimara mengalihkan pandangannya. Hatinya akan selalu terenyuh setiap kali menghadapi sesuatu hal yang berkaitan dengan Sang ibu, tentu. Apalagi sekarang posisi mereka begitu berdekatan. Dekat yang hanya bisa dirasakan, bukan menyaksikan. Rasanya, sakit, sekali.
"Ibu, aku tau gimana beratnya perjuangan Ibu buat lindungin aku dari Papa. Tapi Bu, takdir ternyata punya caranya sendiri. Aku ketemu Papa. Kita bahkan satu rumah. Hampir setiap hari aku liat Papa. Aku juga pernah sebangga itu sama Papa. Tapi kenapa Papa ngga kenalin aku sebagai anaknya sendiri, Bu? Rasanya, aku bener-bener kehilangan kalian. Papa emang masih ada, tapi ngga sedikit pun aku rasain perannya di sepanjang hidup aku."
Mengetahui situasi apa yang akan terjadi, Osean lantas beranjak menuju sisi Kimara. Ia merangkul pundak perempuannya. Sedangkan satu tangannya lagi ia gunakan untuk menautkan tangan mereka berdua.
"Ibu, seandainya mesin waktu itu beneran ada, rasanya aku mau pergi ke masa dimana Ibu belum ketemu Papa buat bilang sesuatu."
Osean merasakan genggaman tangan Kimara semakin menguat. Perempuan itu tengah menguatkan hatinya.