25 : pretty like geranium

128 29 7
                                    

Satu bulan kemudian ..|

"Mas! Kamu ngga mau sarapan dulu?"

Dari arah pintu dapur yang terhubung langsung ke halaman samping rumah, perempuan itu melantangkan suara untuk meraih atensi suaminya yang sedang asyik mengurusi sebuah taman sederhana. Hanya taman minimalis. Tapi lelaki yang berpakaian santai berupa kaos putih dan short pants itu sangat menyayangi sekali taman tersebut sampai-sampai menjadi agenda rutinnya saat akhir pekan bahkan hari-hari biasa juga sebelum bekerja.

Berjalan dengan keadaan celemek berwarna krem yang masih menempel di tubuh, Si perempuan lantas beranjak melewati pintu untuk menghampiri.

Ah, sepertinya cahaya matahari sudah terasa hangat di sana.

"Beli baru lagi, huh?" tanya Kimara saat melihat beberapa bibit bunga kecil berjejeran pada wadah plastik.

"Kali ini warnanya beda, warna putih," jawabnya. Kemudian Osean mengeluarkan pot berukuran enam inci untuk di pisahkan satu per satu.

Mengerti akan situasi, Kimara bergeser ke sebelah kanan di mana tanaman lain terlihat sudah tumbuh tinggi. "Look, yang warna ungu ini udah semakin banyak bungannya. So so pretty like ... "

"Like, you, Rare?" selanya, membuat istrinya malah mendengus, malu-malu. Kedua matanya lalu bergulir untuk memperhatikan bunga yang Kimara maksud. "Itu warna kesukaan Bunda, warna ungu. Geranium ungu."

Bukan tanpa alasan kenapa Osean Mahagra mendadak banyak menanam bunga geranium di halaman rumahnya. Itu karena Liana, Sang Ibu yang begitu menyukai jenis bunga tersebut. Di paviliun tempat tinggal Liana, ada begitu banyak geranium berbagai macam warna mengelilingi tempat tinggalnya. Itulah sebabnya Osean menanam tanaman hias di sekitar pekarangannya sendiri.

Katanya, agar rasa rindunya pada Liana bisa tersampaikan.

"Engga kerasa udah satu bulan. Time flies so fast. Udah selama itu Bunda ninggalin kita semua." Osean memetik geranium ungu di hadapannya untuk ia selipkan di telinga Sang istri. "Bunda pasti bahagia bukan di sana?"

Tak menampik, Kimara sedikit terkesiap atas tindakan suaminya. Pipinya tersipu. "Pasti bahagia. Bunda pergi setelah semua keinginannya tercapai. Bunda pasti tenang dan ngga ngerasain sakit lagi."

Itu memang benar. Liana pergi dengan hati yang damai. Rasa bersalah kepada mantan suami dan kedua putranya sudah termaafkan. Keinginannya untuk melihat salah satu putranya menikah telah terkabul. Begitu juga dengan rasa penyesalan terhadap Hema. Setidaknya, ia sudah meminta maaf kepada keturunannya langsung- walaupun sejujurnya ia memang tidak bersalah.

"Kamu udah selesai bikin sarapannya?" tanya Osean, setelah memperhatikan Kimara yang masih memakai celemek.

"Roti panggang sosis mayo. Engga bosen, kan?"

Osean pun tertawa. Masalahnya, sudah tiga hari berturut-turut Kimara memberinya sarapan dengan menu yang sama. Ehm, sebenernya setelah menikah, roti panggang sosis mayo itu adalah satu-satunya menu andalan Kimara.

"Aku belum belajar menu sarapan lain lagi- ada sih, pancake. Cuman lima kali aku percobaan ternyata selalu gagal. Selalu keras. Jadi aku ngga berani kasih kamu makan itu,"

"Sayang," balasnya, lembut. Jemarinya mengusap surai Kimara di sekitar pelipis. Saat di perhatikan, ia melihat jika luka bekas lemparan batu masih membekas di sana. Rasanya ia selalu ingin marah setiap kali ingat kejadian tersebut.

Lalu lelaki itu melanjutkan, "Kalo kamu kesusahan buat bikin sarapan, jangan dibikin pusing, ya. Kamu mau pesan antar juga ngga apa-apa. Atau mungkin lain kali kita bikin sama-sama? Waktu di Amerika aku lumayan sering masak sendiri."

LABYRINTH : HOW DID IT END?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang