"—dan maaf karena kami hanya bisa menyelamatkan salah satunya. Pendarahan akibat siksaan di tubuh Kimara menyebabkan kandungannya keguguran."
Semuanya yakin tak salah dengar atas ujaran dari Dokter Ruby yang baru saja memberikan informasi perihal kondisi Kimara. Tapi... apa katanya? Kandungan? Keguguran?
Osean Mahagra langsung mencengkram kedua bahu Ruby Anathea sampai punggung perempuan yang menyandang gelar mantan kekasihnya itu menubruk tembok. Napasnya tersulut emosi. Mata yang memerah akibat tidak cukup tidur tampak terbelalak lebar menatap guratan kebingungan dari orang yang sangat ingin ia kulik satu pertanyaan atas pernyataan penuh tanda tanya sebelumnya.
"Osean.. apa-apaan kamu?" Ruby sungguh bisa merasakan aura intimidasi dari lelaki berjarak dekat itu. Bahkan bahunya di remat dengan kuat.
"Jelasin,"
"Jelasin?"
"Kimara keguguran? Apa maksudnya?"
Sejenak, Ruby menghela singkat. Ia mengerti jika posisi baru yang Osean duduki sekarang memang lebih dari kata sakit. "Aku tau kamu belum bisa terima apalagi ini anak pertama kalian. Tapi mau gimana lagi? Yang terpenting Kimara bisa selamat,"
"Jadi itu semua bener?"
"Menurutmu aku masih bisa bercanda di situasi ini Osean Mahagra? Apa ka—" Tiba-tiba Ruby mengatupkan mulutnya, ia baru tersadar akan sesuatu hal. "Osean, apa jangan-jangan kamu ngga tau kalo Kimara .. hamil?"
Tepat. Kedua tangan lelaki itu lantas lemas meluruh sampai cengkramannya terlepas. Kaki jenjangnya perlahan harus berakhir tertekuk pada lantai dingin rumah sakit. Ia jatuh begitu saja. Jika rasa sakit bisa didefinisikan dalam sebuah bentuk, maka rasa sakit Osean ini ada dalam berbagai macam bentuk sampai yang abstrak sekalipun.
It hurts a lot that he couldn't breathe.
Jangan tanyakan perihal menangis. Osean sudah menghabisi setengah air matanya untuk menangisi Kimara di dalam sana yang belum juga sadarkan diri. Ia gagal menjaga istrinya sampai hal mengerikan seperti ini terjadi. Sekali lagi, Osean telah gagal. Bolehkah berharap jika kejadian ini hanyalah mimpi buruknya saja?
***
Sehari sebelumnya ..|
"Akh!"
Tubuh yang kedua tangannya terikat ke belakang itu baru saja dihuyungkan sampai dirinya terjerembab jatuh. Kimara meringis kesakitan, perih. Kedua lututnya langsung berdarah karena bergesekan dengan lantai kasar penuh kerikil dan bekas pecahan benda-benda tajam.
Mengedarkan pandangannya, Kimara tidak tau ia berada di mana. Tempat ini terlihat seperti bangunan setengah jadi yang terbengkalai dan memiliki beberapa tingkat. Saat melihat ke bagian ujung lantai ini berada, terdapat ujung yang seperti jurang; menandakan jika tempat yang ia injak berada di bangunan atas, bukan bangunan utama.
"Jangan mendekat!" teriaknya, susah payah Kimara bangkit untuk berdiri. Ia sedikit menggelengkan kepala saat merasa kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Entah cairan apa yang disuntikkan lelaki gila Harlan itu.
"Psstt.. jangan teriak-teriak, tidak akan ada yang mendengar." Tapakan sepatu boots-nya semakin mendekati perempuan yang perlahan berjalan mundur penuh ketakutan. "Diam atau kamu akan jatuh ke bawah sana lalu mati, mau?"
Kimara berhenti saat ia menyadari jika perkataan barusan benar. "Mama dan Alysia yang suruh kamu ngelakuin semua ini?"
Harlan menyeringai mendengarnya. Ia berdecak lalu meludah sembarangan. Tangannya dengan cepat melepaskan ikat pinggang dari celana jeans yang dipakainya.