15 [insiden]

189 25 2
                                        

...

Seperti yang dirancanakan, Hyunjin melanjutkan pendidikannya di universitas terkenal di Seoul, jurusan seni. Felix tetap tinggal di rumahnya. Mereka masih berpacaran, hanya beberapa orang yang mengetahui tentang hubungan keduanya. Tetap merahasiakannya dari Jeongin. Walaupun Felix merasa bersalah dan takut dalam waktu yang sama.

Dia mencintai Hyunjin, tapi itu berarti cari mati dengan sahabatnya. Hei, kenapa malah terdengar kalau dialah pelakornya?

Felix tidak tahu, apakah Jeongin sudah tahu atau tidak. Mungkin saja sudah tahu, Jeongin beberapa kali sering menjebaknya dengan pertanyaan yang terkadang menjurus ke Hyunjin. Hanya bisa berharap semoga tidak ketahuan.

Sudah satu tahun berlalu, kini gantian Felix yang mengadakan upacara kelulusannya. Sudah dipastikan dia akan lanjut ke Australia, tinggal di sana bersama kedua kakaknya. Menjalin hubungan jarak jauh dengan Hyunjin. Walaupun tidak yakin keduanya bisa melewati ini.

"Hei, kau baik-baik saja." Hyunjin menyentuh dahi Felix dengan punggung tangannya. Tidak demam.

Felix mengangguk pelan, memegang tangan Hyunjin. "Cuma agak was-was aja. Habis, setelah upacara kelulusan minggu depan aku harus langsung pergi ke bandara Incheon. Kakakku sudah menunggu di sana. Setelah aku boarding pass kita tidak akan bertemu sebelum empat tahun." Wajah Felix berubah menjadi sendu. Mencium telapak tangan milik yang lebih tua.

Hyunjin mengerti maksud Felix. Dia memang memerbolehkan Felix untuk pergi ke Australia, tapi apa dia mampu ditinggalkan selama kurang lebih empat tahun lamanya? "Kita akan baik-baik saja, aku yakin itu. Di Australia nanti jangan melirik orang lain. Aku tahu kebanyakan dari mereka tampan-tampan."

"Bagiku kau yang paling tampan, Hyunjin. Harusnya aku yang bilang begitu." Felix mencium pipi Hyunjin. Tersenyum kecil.

Hyunjin tertawa lalu menggeleng. Buat apa dia oleng ke orang lain?

...

Felix berjalan sendirian, Hyunjin tidak bisa menjemputnya karena harus bertemu dengan kolega ayahnya. Yah, setelah ini Hyunjin yang akan menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO. Wah, kalau dipikir-pikir bisa sesempurna apa hidupnya nanti setelah dia menikah dengan Hyunjin. Dia senyum-senyum sendiri membayangkannya.

Tap tap....

Suara ketukan kaki, tepat di belakangnya. Felix segera menoleh.

Tidak ada siapapun. Aneh, padahal barusan seperti ada orang yang mengikutinya. Felix melanjutkan perjalanan menuju rumah, kali ini dia berlari pelan. Jika memang dia diikuti, harus segera mencari tempat sembunyi dulu. Dia melihat sebuah tumpukkan kardus. Bersembunyi di dala salah satu kerdus besar.

Tap tap....

Benar saja, dia dibuntuti sejak tadi, untung cepat menyadarinya. Dia mengintip. Napasnya tiba-tiba tercekat. Dia mengenal orang itu, sangat mengenalnya.

Jeongin?

"Ck, ke mana dia pergi? Aku heran kenapa dia bisa berlari secepat itu. Ya sudahlah, yang jelas dia belum sampai rumah." Jeongin yang dibalut hodie hitam dan masker hitam itu mengangkat sebuah telepon.

"Ya, lakukan sekarang. Felix? Yah, aku urus dia nanti. Bilang saja itu perbuatan teroris. Intinya pastikan Hyunjin ada di ruangan itu. Ayahnya? Bodo amat." Jeongin menutup sambungan. Melihat sekitar, lalu berlari. Kembali ke jalanan ramai.

Sementara Felix mematung di tempatnya. Mengatur napasnya. Kenapa seakan dia baru saja melihat seorang serial killer? Padahal Jeongin adalah temannya sendiri.

Keluar dari tempat sembunyinya. Buru-buru mengambil handphone. Menghubungi Hyunjin. Bahunya gemetar.

"Kenapa kau menghubungiku saat-saat begini? Rapatnya belum selesai." Suara Hyunjin terdengar. Felix menghela napas lega.

Long Time no SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang