Sebelum Sibuk

860 54 0
                                    

Pagi menyapa. Kicauan burung terdengar merdu di setiap telinga. Embun tak berwarna senantiasa menyejukkan suasana. Langit biru dengan awannya yang putih selalu saja mempesona. Tepat di pagi hari yang indah itulah, sepasang suami-istri belum juga beranjak dari atas ranjangnya, padahal para pelayan sudah beberapa kali membangunkan untuk ikut dalam sarapan pagi di ruang makan kerajaan, akan tetapi mereka sepertinya memang berniat menghabiskan pagi itu hanya dengan memejamkan mata dan saling menghangatkan satu sama lain dengan pelukan.

"Kapan kita akan bangun?." Tanya sang istri, tapi matanya masih saja tertutup rapat. Ia juga enggan untuk melanjutkan aktivitas. Terlalu lelah dan malas.

"Entahlah."

"Apakah ayah dan ibu akan marah?."

"Entahlah."

"Apakah mereka akan memaklumi kita?."

"Entahlah."

"Kau mencintaiku?."

"Entahlah."

Kelopak mata keduanya segera terbuka, apalagi sang suami yang terlalu kentara menjawab asal setiap pertanyaan yang diajukan istrinya.

"Lihat! Kau tidak mendengarkan ku."

"Dengar. Hanya asal menjawab saja."

"Yang keempat pun sama?."

"Tentu saja tidak! Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu pada mu? Kau semalam belum menjawab pernyataan ku."

"Aku terlalu gugup sampai ingin mati rasanya."

"Lalu sekarang?."

"Haruskah aku mengatakannya?."

"Tentu."

"Bukankah akan memalukan? Kau pasti sudah tahu jelas bagaimana perasaan ku."

"Tidak. Bagaimana aku bisa tahu jika kau saja tidak mengatakan apapun."

"Aku sudah cukup membuktikan semalam."

"Tidak cukup Zella."

Sang istri menghela nafas sejenak. "Aku mencintaimu."

Sang pria tersenyum begitu cerah. "Sejak kapan?."

"Sejak lama."

"Kapan?."

"Tidak tahu pasti."

"Aku juga mencintaimu, bahkan saat pertama kali melihat mu."

"Pembohong!."

"Hm? Bagaimana kau tahu jika aku berbohong atau sedang jujur?."

"Kau masih mencintai tuan putri Larissa waktu itu, sangat mustahil jika kau sudah mencintai ku bahkan sejak pertama kali melihat ku."

"Dengarkan ini baik-baik! Aku yang paham bagaimana perasaan ku Zella. Apalagi saat pertama kali melihat mu dengan tampilan hampir tidak berbusana? Siapa yang tidak akan jatuh cinta?."

"Mesum!."

"Aku juga pria normal."

"Siapa juga bilang jika kau menyimpang? Apa itu tandanya kau hanya mencintai tubuh ku?."

"Aku mencintai semua yang ada pada diri mu. Kalimat itu lebih tepat dan romantis untuk didengar."

Sang istri yang tidak lain adalah Razella tidak lagi menjawab dan memilih menghentikan perdebatan pagi itu. Sedang sang suami yaitu Arzean tersenyum penuh kemenangan hingga meluapkannya dengan pelukan yang lebih erat kepada Razella.

"Aku punya pertanyaan." Ujar Arzean.

"Apa?."

"Kenapa ayah tidak memiliki anak lagi selain diri mu, sepertinya kedua orang tua mu masih menginginkannya."

Benevolence of fate (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang