Story 1: What do you think about us?

3.7K 198 24
                                    

disclaimer: aku pernah up narasi cerita ini di twitter dalam bentuk one shot slash cerita pendek, jadi teman-teman mungkin ada yang merasa familiar pernah baca

---

Asza

Aku pernah berpikir bahwa hidup ini penuh dengan hal-hal yang menyenangkan, hal-hal yang membuatku merasa bahagia dan berarti. Namun, di antara semua itu, ada satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang—yang kini telah menjadi pusat dari segalanya bagiku.

Namanya Ravi Bagaskara, tapi aku lebih suka memanggilnya Agas. Kami sudah saling mengenal sejak masa-masa sekolah, dan persahabatan kami tumbuh semakin erat seiring berjalannya waktu.

Dulu, aku tidak pernah menyangka bahwa mendengar kabar dari Agas akan menjadi hal yang begitu penting bagiku. Namun, kenyataannya, hanya satu minggu tanpa pesan darinya sudah cukup membuatku gelisah. Aku mulai membayangkan hal-hal buruk, pikiranku dipenuhi kekhawatiran yang tak berujung.

Apakah dia sakit?

Apakah ada masalah di tempat kerjanya?

Atau... apakah dia marah padaku?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku setiap kali ponselku sunyi dari kabarnya. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku tidak tahu bagaimana cara mengisi kekosongan itu tanpa kehadiran Agas.

Agas adalah sosok yang selalu bisa membuatku merasa tenang. Senyumnya yang tulus, suaranya yang hangat, caranya mendengarkan setiap ceritaku dengan penuh perhatian—semuanya membuatku merasa dihargai dan disayangi. Dia bukan hanya sahabatku, dia adalah tempatku pulang ketika dunia terasa begitu membingungkan.

Setiap momen yang kami habiskan bersama selalu terasa istimewa. Entah itu hanya duduk di kafe favorit kami sambil menyesap kopi, atau menghabiskan malam di taman kota yang sepi, berbincang tentang segala hal sampai larut malam. Bersama Agas, dunia ini terasa lebih ringan, lebih cerah. Dia tahu bagaimana caranya membuatku tertawa, bahkan di saat-saat paling sulit. Kami berbagi mimpi, harapan, dan ketakutan, seperti dua jiwa yang saling memahami tanpa perlu banyak bicara.

Namun, ada sesuatu yang perlahan berubah dalam diriku. Aku mulai menyadari bahwa kekhawatiran yang kurasakan ketika tidak mendengar kabar darinya bukan lagi sekadar kekhawatiran seorang sahabat. Perasaan ini lebih dari itu—lebih dalam, lebih kompleks. Setiap kali dia menatapku atau menyentuhku, bahkan hanya sedikit, hatiku mulai berdebar kencang, seolah-olah ada sesuatu yang ingin meledak di dalam dada.

Aku mulai bertanya-tanya, apakah Agas juga merasakan hal yang sama? Apakah dia sadar bahwa ada sesuatu yang berubah di antara kami?

Di setiap percakapan kami, ada saat-saat ketika matanya bertemu dengan mataku, dan di sana, di balik sorot matanya, aku merasa seolah-olah dia bisa melihat semua perasaan yang coba kusembunyikan. Seperti ada rahasia yang tak terucap, sesuatu yang hanya kami berdua yang tahu namun tak pernah berani kami akui.

Aku takut. Takut bahwa jika aku mengungkapkan perasaanku, aku akan merusak semua yang telah kami bangun selama ini. Aku tidak ingin kehilangan sahabat terbaikku karena perasaan yang mungkin hanya aku yang merasakannya. Tetapi semakin lama aku menyimpan perasaan ini, semakin sulit rasanya untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Perasaan ini seperti api yang terus berkobar, semakin lama semakin membakar, hingga hampir tak tertahankan.

Waktu terus berjalan, dan perasaan ini semakin sulit untuk disangkal. Aku dihadapkan pada pilihan yang sulit.

Apakah aku harus terus menyimpan perasaan ini, ataukah aku harus mengambil risiko dan mengungkapkannya kepada Agas? Bagaimana jika aku menghancurkan persahabatan yang begitu berarti bagiku?

The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim HyeyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang