Asza
Pagi itu, dengan mata yang masih setengah terpejam, aku meraih Agas yang sejak tadi menemani. Sentuhan hangatnya terasa begitu menenangkan, dan saat dia menarikku lebih dekat dalam pelukannya, bibirnya mendarat lembut di dahiku.
Kepalaku dipenuhi oleh kebingungan yang tak terjawab. Setelah malam yang penuh gairah itu, apa yang akan terjadi selanjutnya di antara kami? Aku terlalu terbawa perasaan, menyerahkan diriku sepenuhnya dalam momen yang intens bersamanya. Padahal, seharusnya aku menjaga jarak, tidak memberi harapan yang mungkin tidak bisa aku tepati.
Saat perlahan membuka mata, pandanganku bertemu dengan tatapan Agas yang serius. Mata kami bertaut dalam keheningan yang mendalam, dan aku bisa merasakan perubahan dalam tatapannya—tidak lagi selembut tadi pagi. Dia seolah ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya tetap terkunci rapat, menyimpan semua kata yang bisa menjelaskan perasaannya.
Keheningan menyelimuti kami, hanya terdengar napas kami yang teratur. Aku ingin berbicara, ingin tahu apa yang sebenarnya dirasakannya, namun lidahku kelu oleh rasa takut. Apa dia juga merasa bingung seperti aku?
"Lo marah?" tanyaku dengan suara yang nyaris bergetar, memecah keheningan yang kian menekan.
Agas tetap diam, tidak menjawab sepatah kata pun. Beberapa detik berlalu sebelum dia mengalihkan pandangannya dariku, seolah tidak ingin menatapku lagi.
"Marah soal apa?" akhirnya dia bertanya, suaranya datar, tanpa emosi. Pelukannya tidak lagi erat seperti tadi, hanya aku yang masih mencoba mendekapnya, berharap bisa merasakan kembali kehangatan yang perlahan memudar.
Aku tahu dia sedang kesal padaku. Keheningan dan sikap dinginnya sudah cukup menjadi petunjuk.
"Soal yang lo tanyain tadi pagi," jawabku pelan, masih berharap dia akan menatapku lagi. Tapi harapan itu pupus ketika dia tetap diam, malah pelan-pelan menjauh dariku. Dia mulai mencari celana pendeknya yang tergeletak di lantai, memakainya cepat-cepat, lalu keluar dari kamar, meninggalkanku sendirian di atas kasur.
Rasa perih menusuk dadaku. Dengan berat hati, aku bangkit dari kasur dan mencari kaos yang bisa kupakai. Kaos Agas adalah yang pertama kutemukan. Ketika kupakai, kaos itu terasa kebesaran, tapi aku tidak peduli.
Di ruang tengah, aku melihat Agas sedang menyalakan kompor. Aroma bawang yang mulai tercium di udara membuatku sadar dia sedang memasak sesuatu.
"Gas?" panggilku, mencoba menarik perhatiannya kembali. Agas menoleh sebentar.
"Gue masakin nasi goreng, abis itu gue pulang," katanya singkat, lalu kembali fokus pada kompor, seolah berusaha melarikan diri dari percakapan ini dengan sibuk memasak.
Aku mendekat, berdiri di sebelah kitchen island, merasa canggung dengan jarak emosional yang tiba-tiba tercipta di antara kami. Keheningan terasa berat, seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami.
"Lo marah karena gue ngehindar pas lo lagi bahas soal kita?" tanyaku akhirnya, berusaha memahami perasaannya. Biasanya, Agas membahas hubungan kami dengan tenang dan sabar, tapi hari ini sikapnya sangat berbeda.
Agas menghentikan gerakannya sejenak, menatap peralatan memasak di depannya tanpa benar-benar melihat. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Gue nggak marah, gue cuma bingung. Setiap kali kita ngobrol soal hubungan ini, lo selalu ngehindar."
Dia memasukkan nasi ke wajan dan menoleh singkat ke arahku. "Kalau gue marah, apa itu bakal bikin lo mau ngebahasnya?"
"Enggak," jawabku cepat, hampir tanpa berpikir. Kata-kataku keluar begitu saja, membuatku terkejut.
Agas melirikku sekilas, lalu kembali fokus memasak nasi goreng. Keheningan kembali menyelimuti kami, hanya suara wajan yang berdesis dan aroma nasi goreng yang mengisi ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim Hyeyoon
Fanfiction(21+) A fanfiction of Byeon Woo Seok and Kim Hye Yoon (lovely runner) Dalam pelukan waktu yang melingkupi dua sahabat masa kecil, Agas dan Asza, kisah cinta yang rumit dan memikat bermekaran. Saat mereka memasuki usia 30-an, Asza masih mencari pasan...