Story 18: Florence and the echoes of us

868 91 27
                                    

Agas

"Di mana?" tanya Juan lagi, dengan nada penasaran.

Gue menghela napas perlahan sambil menyesap bir dari gelas yang masih setengah penuh di tangan gue. Rasanya agak pahit, tapi dinginnya cukup menyegarkan setelah hari yang lumayan panjang.

"Florence, katanya," jawab gue, mencoba terlihat santai meskipun di dalam hati ada sedikit kegelisahan. "Gue nggak tahu itu dimana, tapi katanya di Italia." Gue lanjutkan jawaban gue dengan cepat, kemudian meneguk lagi bir yang terasa sedikit lebih keras dari biasanya. Kadar alkoholnya lumayan tinggi, cukup buat meredam sedikit rasa pusing yang muncul karena terlalu banyak mikir.

Sekarang gue, Juan, dan Shakil lagi nongkrong di apartemen gue. Ruang tamu ini memang nggak terlalu luas, tapi cukup nyaman buat kami bertiga. Dindingnya berwarna abu-abu muda, dengan lampu-lampu kuning hangat yang memberikan kesan nyaman. Di luar, suara lalu lintas malam Jakarta yang padat bisa terdengar samar-samar, meskipun apartemen ini terletak di lantai delapan.

Hari ini Sabtu malam, dan kami bertiga kebetulan sedang jomblo. Atau ya, gue nggak sepenuhnya yakin bisa disebut jomblo sih, karena sebenarnya nggak pernah ada kata "putus" yang jelas antara gue sama Asza. Kami semacam... menggantung, mungkin begitu. Rasanya belum selesai, tapi juga nggak jalan.

Juan menatap gue sambil mengangkat sebelah alis, lalu membuka bungkus snack yang tadi dia ambil dari meja. "Anjir, jauh banget ke Florence. Ngapain dia di sana?"

Gue mengangkat bahu, mata gue melirik sekilas ke layar TV di depan yang menampilkan program acak karena gue terus mengganti-ganti saluran. Nggak ada yang menarik malam ini.

"Kalo gue tau, ya gue nggak bakal bingung begini, Ju," jawab gue sambil menyandarkan punggung ke sofa.

Shakil yang dari tadi lebih banyak diam, tiba-tiba cekikikan. Dia duduk di pojok, dekat jendela yang sedikit terbuka, membiarkan angin malam masuk perlahan-lahan.

"Terus, lo mau ke sana?" Shakil nanya dengan nada penasaran, matanya sedikit menyipit karena dia juga kayak bingung sama keputusan yang mungkin bakal gue ambil.

Gue menggaruk kepala sambil sedikit termenung. "Nah, itu dia yang pengen gue tanyain." Gue menatap Shakil, dan dia balas tatap gue dengan dahi mengernyit, kayak nggak yakin sama apa yang barusan gue bilang. Sejujurnya, gue pun nggak yakin.

"Kan gue masih probation di kantor," lanjut gue, sambil memikirkan ulang. "Bisa cuti nggak sih?"

Shakil menatap gue sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Di kantor kita, sistem cutinya tiap bulan nambah satu hari, kan? Jadi karena lo baru sebulan join, ya paling cuti lo baru dua hari, lah. Bulan kemarin sama bulan ini," jelasnya sambil memainkan tutup botol minuman yang tadi dia pegang.

Dia ngasih jeda sebentar, lalu melanjutkan dengan lebih serius. "Eh, tapi kan kerjaan lo bisa remote, ya? Harusnya bisa sih kalau lo ijin. Lo tinggal bilang aja ke atasan."

Gue terdiam sebentar, baru sadar kalau dia bener juga. Gue hampir lupa soal kerjaan gue yang memang bisa dikerjain dari mana aja, asal ada internet yang memadai. "Oh, bener juga," kata gue sambil sedikit manggut-manggut, merasa sedikit lebih lega karena ternyata masih ada kemungkinan gue bisa pergi.

Shakil melirik ke gue dan menambahkan, "Coba aja bilang ke Mas Bagus. Dia orangnya cukup santai kok, biasanya juga nggak terlalu ribet soal hal kayak gitu."

Gue mengangguk pelan, mulai merencanakan di kepala gue buat ngomong ke Mas Bagus besok. "Oke, besok gue coba bilang ke dia," jawab gue, sambil merentangkan tubuh di sofa.

Juan, yang dari tadi cuma mendengarkan, akhirnya angkat suara lagi. "Lo beneran mau ke Florence?" Nada bicaranya terdengar skeptis, seolah-olah dia masih nggak percaya kalau gue serius sama rencana ini.

The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim HyeyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang