Story 16: In bitter laughter, I wait, lost and searching for my heart's way

1K 109 21
                                    


Agas

"Tai." Gue mengumpat dengan kesal sambil membanting tubuh gue ke kursi. Rasa frustasi memenuhi kepala gue, dan gue bisa merasakan otot-otot di leher gue mulai tegang.

"Kenapa lagi, kocak?" Suara Atrey muncul dari balik kubikelnya. Dia mengintip dengan wajah penuh rasa ingin tahu, senyumnya seakan-akan menyimpan sesuatu yang nggak gue tahu.

"Gue mau resign aja masih disuruh beresin ini itu," jawab gue sambil menghela nafas panjang, seolah-olah nafas itu bisa membawa pergi sedikit beban yang gue rasakan. Kenyataannya? Nggak juga. Rasa lelah dan frustasi itu masih bertahan.

Atrey ketawa kecil, "Pak Dimas nggak rela itu lo resign."

Gue cuma mengangguk malas. Memang, sekarang gue udah ada di masa notice. Satu bulan lagi, dan akhirnya gue bisa pindah ke perusahaan baru di Bandung. Rasanya antara lega dan nggak sabar, tapi juga ada sedikit rasa berat di dada yang nggak bisa gue jelaskan. Mungkin karena ini adalah perubahan besar dalam hidup gue, atau mungkin karena gue masih terjebak dalam kekacauan perasaan gue terhadap Asza.

Dua bulan lalu, gue akhirnya memutuskan untuk mengajukan resign. Saat itu, Asza sudah nggak bisa dihubungi, dan gue udah capek bolak-balik Jakarta-Bandung dengan harapan bisa menemui dia. Jujur, fisik dan mental gue terkuras habis. Tapi disisi lain, gue juga nggak mau menyerah begitu aja. Gue masih punya keinginan untuk mencari tahu tentang dia.

Untuk mengurangi beban ongkos dan waktu, gue akhirnya cari kantor di Bandung. Gue pikir, dengan kerja di sana, gue bisa sesekali ke cafe Asza atau mampir ke rumahnya—kalau-kalau aja dia muncul di sana. Harapan gue masih ada, walau tipis, dan rasa penasaran itu terus menggerogoti gue.

Bener, udah dua bulan ini Asza hilang tanpa kabar, dan tiap hari, rasa penasaran gue tumbuh makin besar. Gue bertanya-tanya, sekarang dia ada di mana? Kenapa dia pergi begitu aja tanpa bilang apa-apa?

Kepala gue rasanya penuh sesak, kayak benang kusut yang nggak ada ujungnya. Gue mencoba untuk fokus, tapi pikiran gue terus-terusan melayang, dan tubuh gue? Udah jelas nggak bisa diajak kompromi lagi. Jam di dinding kantor menunjukkan pukul tiga. Masih ada satu jam lagi sebelum waktu pulang resmi, tapi gue ragu bisa bertahan sampai saat itu tiba.

Gue menoleh ke arah Atrey yang masih serius di depan komputernya, sibuk ngetik sesuatu. "Trey, gue cabut duluan ya. Nggak kuat gue," kata gue, suara gue lebih lemah dari biasanya, kayak semua tenaga udah terkuras habis.

Atrey menatap gue sekilas, lalu menunduk buat lihat jam di tangannya. "Yakin lo? Masih jam tiga, bro," katanya, nada suaranya campuran antara heran dan nggak percaya.

"Gue kan lagi on notice. Lagian handover yang dijadwalin hari ini udah kelar," jawab gue sambil mencoba senyum, tapi yang keluar lebih mirip seringai lelah. Gue tau ini nggak adil buat dia yang masih harus bertahan di sini sampai jam empat, tapi gue juga butuh istirahat, setidaknya secara mental.

Dia mengangguk pelan, seolah paham dengan alasan gue. "Iya sih, bener juga. Enak juga ye lo, bisa pulang cepet."

Gue tertawa kecil, tapi ada rasa pahit yang nyangkut di tenggorokan gue. "Enak tuh sushi di meja lo," gue melirik ke arah sushi yang masih tergeletak di atas meja Atrey, makanan yang dibawain sama mantan ceweknya. Gue tahu Atrey nggak mau balikan sama mantannya, tapi dia juga nggak bisa sepenuhnya nolak kebaikan cewek itu.

Atrey menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menatap gue dengan campuran ekspresi serius dan bercanda. "Lo mau ke Bandung lagi, kan?"

Gue hanya mengangguk pelan sambil mulai membereskan barang-barang gue. "Ya mau kemana lagi sih gue?" jawab gue datar.

The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim HyeyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang