Story 17: I finally found her

795 95 13
                                    

Agas

Pindahan kali ini benar-benar bikin gue pusing. Dengan ngos-ngosan, gue dan dua sahabat gue, Shakil dan Juan, berjuang mengangkat barang-barang gue ke apartemen baru yang gue sewa di Bandung.

"Gila, ini pindahan beneran bikin nyesek," keluh Shakil sambil menurunkan kardus dari mobil. Mukanya yang biasa tenang, sekarang kelihatan jengkel.

Gue hanya tertawa kecil, walau dalam hati setuju juga dengan keluhan itu. Ini bukan pindahan biasa. Gue baru saja mengambil langkah besar dalam hidup gue—pindah kota, pindah kerja, dan, yang lebih gila lagi, semua ini gue lakukan karena satu alasan—Asza.

Perempuan yang bikin hidup gue jungkir balik. Dia tiba-tiba hilang tanpa jejak, menghilang begitu aja. Dan gue? Masih aja terobsesi, kayak orang bodoh. Semua ini terjadi karena perasaan impulsif yang entah kenapa selalu bikin gue ambil keputusan tanpa mikir panjang. Termasuk keputusan gue resign tiba-tiba dari pekerjaan lama. Tapi beruntung, gue punya Shakil. Dia yang bantu gue dapetin kerjaan baru di kantornya yang kebetulan lagi buka posisi yang cocok buat gue. Thanks to him, gue nggak perlu repot cari kerjaan baru.

Shakil menatap gue sambil menggelengkan kepala. "Lo tahu nggak, lo tuh bisa aja beli barang-barang di sini, bro. Kenapa harus bawa semuanya dari Jakarta?" Suaranya terdengar protes, tapi dia tetap mengangkat barang-barang itu ke lantai atas. Gue tahu, dia sebenarnya nggak niat ngeluh, tapi proses pindahan ini emang ribet banget.

"Lo tahu sendiri kan, gue pelit," sahut gue, berusaha bercanda buat lighten the mood. Juan, yang dari tadi sibuk membantu, tertawa keras. "Pelit apaan, lo kan sewa apartemen di tengah Bandung yang harga sewanya mahal setengah mati!" Juan langsung menyela. Dia nyindir, tapi gue tahu dia nggak serius.

Apartemen di tengah Bandung emang mahal banget, tapi itu semua gue lakuin demi satu hal—dekat dengan cafe milik Asza. Ya, sesederhana itu. Meskipun gue tahu kemungkinan ketemu dia di sana udah makin kecil, gue tetap aja berusaha.

Sekarang, gue udah di Bandung, sebuah kota yang jauh lebih tenang dibanding hiruk-pikuk Jakarta. Gue merasa ada jarak yang cukup besar dari hidup lama gue di sana, tapi anehnya, bukannya merasa lega, gue justru merasa kayak terjebak di limbo, di antara rasa lega dan kekhawatiran tentang apa yang bakal gue hadapi di depan nanti.

Apartemen gue di Bandung nggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Lokasinya strategis, dekat dengan kafe dan tempat makan yang sering didatangi anak muda. Sebuah tempat yang bisa memberikan gue sedikit rasa "rumah" di kota yang asing ini. Di luar jendela, suasana Bandung terasa beda banget sama Jakarta. Udara di sini lebih sejuk, angin yang bertiup lembut bikin daun-daun pohon di sepanjang jalan meliuk-liuk. Langit sore itu berubah warna, dari biru cerah menjadi semburat oranye keemasan yang memantul indah di kaca apartemen gue. Weekend ini terasa tenang, tapi di dalam hati gue justru penuh kekacauan.

Shakil berdiri di depan jendela apartemen yang baru gue sewa, pandangannya mengarah ke luar. Dia mengusap keringat di dahinya sambil berusaha mencerna apa yang baru saja kita bicarakan. "Gue masih nggak nyangka, lo secinta mati begitu sama Asza," katanya akhirnya, dengan nada yang terdengar campur aduk antara heran dan penasaran.

Gue menanggapi dengan santai, mengangkat bahu sambil menyengir. "You don't know? Gue pikir semua orang udah pada tahu." Mungkin beberapa bulan lalu, pembicaraan tentang Asza bisa bikin hati gue menciut, atau setidaknya membuat gue nggak nyaman. Tapi sekarang, entah kenapa, gue malah bisa bercanda soal "hilangnya" dia, seolah luka yang dulu terbuka lebar udah mulai menutup dengan sendirinya. Mungkin bukan sembuh total, tapi cukup untuk nggak terlalu memikirkannya.

Shakil menoleh sebentar, sekilas menatap gue dengan alis terangkat, seperti sedang mengukur seberapa serius gue saat bilang begitu. Tapi gue tahu, di dalam hati, dia tetap mikir gue masih terlalu terjebak sama Asza. "Kita semua tahu lo naksir abis sama dia," lanjut Shakil, suaranya agak lebih serius sekarang. "Tapi pindah kerjaan cuma gara-gara ngejar cewek yang bahkan nggak jelas kabarnya?"

The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim HyeyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang