Asza
Ponselku berdering lagi, dan nama Agas muncul di layarnya. Udah hampir seminggu aku menghindarinya, terutama karena aku lagi-lagi kabur buat ngobrol soal hubungan kami, apalagi akhir-akhir ini aku lembur terus karena target kerjaan belum tercapai.
Aku keluar dari taksi dan melangkah lelah ke lobi apartemenku. Besok weekend, dan rencanaku adalah hibernasi total—nggak ngapa-ngapain seharian. Rasanya, begitu nyampe kasur, aku bakal langsung terlelap.
Begitu sampai di depan pintu apartemenku, aku mengeluarkan kunci dari tas. Tapi mataku menangkap sosok yang nggak asing duduk jongkok di samping pintu.
Agas.
Dia ada di sana, menatapku dengan campuran rasa kesal dan khawatir. Aku menghela napas, mencoba mengabaikannya.
"Lo ngehindarin gue lagi?" suaranya tegas, membuatku berhenti sejenak. Biasanya Agas lembut sama aku, bahkan kadang manja. Tapi kali ini jelas nggak begitu.
"Nggak," jawabku singkat, mencoba bersikap cuek. Aku buru-buru membuka pintu dan berusaha menutupnya sebelum Agas sempat masuk. Aku nggak pengen ngobrol apapun dengannya malam ini.
Tapi Agas lebih cepat dan dengan mudah menahan pintu. Tubuhnya yang lebih besar membuat usahaku sia-sia.
"Lo kenapa sih?" tanyanya lagi, kali ini lebih lembut, tapi masih terasa tegang. "Kenapa lo ngehindar terus?"
Aku menghela napas panjang. "Gue cuma capek, Gas. Kerjaan lagi numpuk, dan gue butuh istirahat."
Dia menatapku, campuran antara marah, bingung, dan... entah apa lagi. "Ini bukan cuma soal kerjaan, kan? Ini soal kita."
Aku mengalihkan pandangan, merasa jantungku berdebar. "Nggak ada yang perlu dibahas, Gas. Gue cuma butuh waktu buat diri gue sendiri."
"Gue nggak akan pergi sampe kita ngobrol," desaknya lagi.
Aku menghela napas lagi, kali ini lebih frustrasi. "Agas, gue nggak mau ribut. Gue beneran capek, oke?"
Dia menggeleng pelan. "Gue juga nggak mau ribut, Za. Gue cuma pengen ngerti apa yang lo rasain."
"Is this because of what I said last week?" desaknya lagi. Matanya tajam menatapku, seakan memaksa jawaban jujur dariku.
Aku memandang ujung sepatuku, menghindari tatapannya. Dari ujung mataku, aku bisa merasakan tatapannya yang tajam, seolah menembus pertahananku. Dia terlihat menakutkan, dan aku tahu, akulah penyebabnya.
"Nggak, Gas. Gue capek. Lo juga baru balik kerja, kan? Mending lo pulang aja," kataku memaksa, mencoba menutup pintu lagi, meskipun aku tahu itu sia-sia.
Tapi Agas tetap menahan pintu dengan kuat. "Gue serius waktu ngomong kayak gitu ke lo, Za. Lo mikir gue cuma bercanda, kan?" desaknya lagi.
Aku mendesah dalam hati. Lagi-lagi soal ini. Seberapa serius sih dia? Sampai rela nungguin aku pulang?
Karena penasaran, akhirnya aku mendongak, menatap matanya dengan tajam. "Lo beneran serius ngomong kayak gitu, Gas?" tanyaku, mencoba menutupi kegelisahanku. Semua yang dia katakan bikin aku bingung. Aku tahu mungkin dia serius, tapi seringnya dia bercanda. Aku tahu Agas itu kayak gimana, apalagi soal cewek.
Agas selalu nggak pernah serius sama cewek. Dan aku pikir dia juga gitu sama aku, kan?
"Kalau lo pengen gue nggak deketin Ajji, oke, gue turutin. Tapi nggak perlu lo nawarin diri jadi cowok gue segala," kataku sambil mendorong bahunya pelan, mencoba membuatnya mundur dan pergi.
"Jadi lo beneran pikir gue bercanda, Za?" kali ini ada nada ragu dan kecewa di suaranya.
Ya, siapa sih yang nggak bakal mikir itu bercanda? Mana ada orang yang temennya habis cerita ketemu cowok lain, terus tiba-tiba nawarin jadi pacar?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim Hyeyoon
Fiksi Penggemar(21+) A fanfiction of Byeon Woo Seok and Kim Hye Yoon (lovely runner) Dalam pelukan waktu yang melingkupi dua sahabat masa kecil, Agas dan Asza, kisah cinta yang rumit dan memikat bermekaran. Saat mereka memasuki usia 30-an, Asza masih mencari pasan...