Story 20: When You Hold Me, Time Stands Still

780 88 1
                                    

Agas

Setelah selesai, gue menggendong tubuh Asza denganpelan, membawa ke kamarnya. Gue bisa merasakan kehangatan tubuhnya di dada gue, dan setiap langkah yang gue ambil terasa begitu tenang, seolah-olah semua masalah di antara kami hilang sejenak. Setibanya di kamar, gue menidurkannya perlahan di atas kasur, dan mulai membersihkan sisa-sisa cairan yang masih menempel di tubuhnya. Suasana hening, hanya ada suara napas kami berdua yang tenang.

"Kenapa, sayang?" Gue menatapnya sambil terus mengusap tubuhnya dengan handuk lembut.

Dia mengernyit sedikit, lalu menunjuk ke arah dada gue. "Sejak kapan lo punya tato?" tanyanya tiba-tiba, matanya terbelalak heran.

Gue terkekeh pelan. Kenapa dia baru sadar sekarang, ya?

"Lo sih kelamaan ngilang," jawab gue, mencoba sedikit bercanda.

Asza memicingkan mata, pura-pura kesal, tapi senyumnya nggak bisa disembunyikan. "Ihhh, gue juga mau bikin tato, dong!" rengeknya dengan manja, tangan kecilnya menepuk pelan lengan gue.

Gue hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Ssst... nggak boleh. Sakit ini, lo pasti nggak kuat."

Dia mendengus kesal, matanya menantang. "Dih, masa sih? Kan biasanya yang takut naik roller coaster itu lo, bukan gue."

Tuduhannya itu membuat gue nggak bisa nahan ketawa, karena ya, emang bener sih, gue lebih penakut soal hal-hal ekstrem kayak gitu.

Asza mulai menelusuri tato di dada gue dengan jarinya, penuh rasa penasaran. Tato kecil berbentuk infinity itu nggak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menarik perhatiannya. Di dalam simbol infinity itu, ada dua inisial.

Mata Asza berkedip penasaran. "Inisial siapa ini?" tanyanya, matanya masih terpaku pada tato tersebut.

Gue tersenyum jahil. "Coba tebak," jawab gue sambil mengangkat alis.

"Asli ya, lo udah punya pacar di Jakarta, kan?" Asza mengerutkan kening, suaranya sedikit berubah, seperti sedikit curiga.

Nada suaranya yang tiba-tiba berubah membuat gue kaget, bahkan sedikit kesal. Tanpa bisa menahan diri, gue langsung mendekat, memotong jarak di antara kami, dan dengan cepat membubuhkan satu ciuman lembut di bibirnya. Ciuman itu sederhana, tapi cukup untuk menyampaikan rasa kesal yang gue rasakan, sekaligus meyakinkan dia bahwa semua tuduhannya nggak berdasar.

Bibirnya terasa hangat, lembut, dan untuk sesaat, semua kekesalan gue perlahan mencair.

"Ini gue udah jauh-jauh ke sini, terus lo bilang gue punya pacar lain? Pulang aja apa gue sekarang?" keluh gue, setengah nggak percaya dia bisa berpikir begitu.

Dia tersenyum kecil, lalu memutar matanya sambil merengek lagi, "Terus, itu nama siapa?"

Gue mencubit pipinya pelan, wajahnya yang manis makin bikin gue gemas. "Itu nama lo, lah. Masa lo nggak sadar?"

Ekspresinya langsung berubah, wajahnya berseri-seri. "Ih, lucu! Gue juga mau dong!" katanya penuh semangat.

Gue tertawa lagi, suara gue terdengar lebih ringan sekarang. "Iya, boleh, tapi nanti pas kita balik ke Indonesia, ya," jawab gue sambil mengusap lembut rambutnya.

Asza mendesah puas, matanya kembali bersinar. "How's Jakarta, by the way?" tanyanya, kali ini lebih santai.

Gue mengangkat bahu, santai, sambil menyelesaikan bersih-bersih sisa-sisa di tubuh Asza. Setelah semuanya beres, gue pergi ke kamar mandi buat membersihkan diri sendiri. Air dingin yang mengalir dari shower bikin gue sedikit lebih segar, walaupun pikiran gue masih terpaku pada Asza yang menunggu di kamar. Setelah selesai mandi, gue keluar dengan handuk melilit di pinggang dan balik lagi ke kamar.

The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim HyeyoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang