Asza
"Gue benar-benar bingung sama lo, Za. Lo sendiri sebenarnya juga suka, kan, sama Agas? Jadi kenapa lo nggak mau jujur sama diri sendiri dan juga dia?" Suara Ashilla terdengar jelas di telingaku. Aku pernah bercerita pada Ashilla, salah satu sahabat yang benar-benar memahami betapa rumitnya hubunganku dengan Agas.
"Gue udah bilang alasan gue, kan, Shil. Kenapa sih, lo terus-terusan nanya hal yang sama?" kataku kesal, sambil menyuap sesendok bakso ke dalam mulut. Kami sedang makan siang di kantin dekat kantorku. Ini bukan pertama kalinya Ashilla membahas konflik batin yang aku hadapi dengan Agas.
"Ya, gue benar-benar bingung. Kalau gue jadi Agas, gue juga bakal kesel sih," kata Ashilla dengan nada penuh semangat.
Aku hanya bisa menghela nafas.
"Terus, dia beneran nggak hubungin lo semingguan ini?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
Setelah sesi panas dan sedikit deep talk seminggu yang lalu, dan Agas yang buru-buru pergi dari apartemenku, dia benar-benar tidak menghubungiku lagi. Aku sempat beberapa kali mengirim pesan, tapi semuanya diabaikannya. Biasanya, kalau Agas marah, hanya berlangsung tiga hari. Setelah itu, dia pasti memaksaku untuk bertemu.
Ini sudah hari ketujuh, dan aku masih belum mendengar kabar darinya.
"Wah, ini dia serius berarti, Za," Ashilla malah semakin memanaskan situasi.
"Padahal dia sendiri yang bilang nggak bakal ninggalin gue," kataku pelan.
Kepalaku malah ditoyor pelan oleh Ashilla. Aku mengaduh pelan karena toyoran itu.
"Tolol. Ini tuh berarti dia serius sama apa yang dia bilang dan lagi ngasih lo waktu buat mikirin semuanya," kata Ashilla. "Mungkin dia sadar kalo lo sebenarnya juga sayang sama dia. Dan dia juga tahu kalau lo denial karena ada trauma tersendiri," lanjutnya.
Aku terdiam sejenak, merenungi kata-kata Ashilla. Memang benar, aku punya trauma yang belum bisa aku lepaskan. Namun, perasaan pada Agas juga nyata.
Apakah aku harus lebih berani menghadapi perasaanku sendiri?
Ashilla memandangku dengan tatapan penuh pengertian. "Za, gue cuma mau bilang kalau kadang kita harus berani menghadapi ketakutan kita untuk bisa maju. Agas itu orang baik, dia mau ngasih lo waktu dan ruang. Jangan sia-siain kesempatan ini," katanya dengan lembut, seakan-akan bisa membaca setiap keraguan yang bergelut dalam pikiranku.
Aku terdiam, membiarkan kata-kata Ashilla meresap ke dalam hatiku. Apakah benar? Haruskah aku mulai berani menghadapi ketakutanku? Pikiran itu berputar-putar dalam benakku, semakin membingungkan seiring dengan setiap detiknya. Ketakutanku seperti tembok besar yang sulit untuk diruntuhkan, namun mungkin sudah saatnya aku mulai mencari cara untuk melewatinya.
"Tapi, Shil, gue nggak tahu harus mulai dari mana," kataku pelan, suaraku terdengar seperti bisikan yang hilang di tengah keramaian kantin.
Ashilla lalu meraih tanganku dengan lembut. "Mulai jujur ke diri lo sendiri, Za. Akui perasaan lo ke Agas. Kalau lo terus-terusan nolak buat ngakuin, lo nggak akan pernah bisa maju. Mulai dari situ," katanya dengan penuh keyakinan.
Aku menarik napas dalam-dalam. Mengakui perasaan sendiri terdengar seperti langkah kecil, tapi rasanya berat sekali. Aku memang menyukai Agas, bahkan mungkin lebih dari sekadar suka. Tapi, bayangan masa lalu selalu menghantuiku, membuatku takut untuk membuka diri sepenuhnya.
—
Agas
"Kok Teh Asza nggak diajak?" tanya Abas, penuh rasa ingin tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim Hyeyoon
Fanfiction(21+) A fanfiction of Byeon Woo Seok and Kim Hye Yoon (lovely runner) Dalam pelukan waktu yang melingkupi dua sahabat masa kecil, Agas dan Asza, kisah cinta yang rumit dan memikat bermekaran. Saat mereka memasuki usia 30-an, Asza masih mencari pasan...