cw : this narrative contains sensitive content related to family issues that may be unsettling or distressing for some individuals***
Asza"Non Asza, mau Pak Dendi antar pulang?" tanya Pak Dendi, supir kesayangan papi, dengan nada yang penuh perhatian. Dia menatapku lewat kaca spion, wajahnya menampilkan ekspresi kekhawatiran yang lembut. Aku hanya memberikan sepintas pandangan ke arahnya, berusaha keras agar dia tidak melihat wajahku yang kini tampak sembab dan basah akibat tangisan yang baru saja meletus.
"Mau dianterin nggak?" suaranya kali ini terdengar lebih lembut, penuh pengertian, seolah-olah dia tahu betul betapa menyedihkannya situasi yang kuhadapi. Aku tidak bisa mengabaikan suara marah Tante Fina, istri papi, yang pasti masih menggema di telingaku, bahkan mungkin sampai keluar rumah, dan pak Dendi mungkin mendengarnya.
Hari ini adalah hari yang aneh, hari di mana papi mengundangku untuk datang ke rumahnya setelah sekian lama. Aku sendiri sudah lupa kapan terakhir kali aku menjejakkan kaki di sini. Begitu aku tiba, aku disambut oleh Bu Ani, asisten rumah tangga yang ramah, yang dengan sopan mempersilahkan masuk. Aku duduk di ruang tamu dan disuguhi segelas jus jeruk dingin yang manis, sebagai pengantar setelah perjalanan panjang ini.
Tak lama setelah itu, Reo muncul dari balik pintu kamar depan. Dia tampak ragu-ragu, berdiri beberapa meter di depanku, seolah-olah ingin mendekat tetapi terhalang oleh kenangan kemarahan mamanya yang pernah membuatnya merasa tidak nyaman.
"Kakak!" panggilnya dengan suara lembut, yang seperti terdesak oleh rasa ingin tahunya dan rasa takut. Matanya yang besar penuh dengan kekhawatiran. Aku melambaikan tangan kepadanya, memberi isyarat bahwa dia bisa mendekat.
"Kakak nggak apa-apa?" tanya Reo dengan suara serendah mungkin, suaranya hampir tak terdengar. Aku tahu dia ingin berbicara denganku lebih dekat, tetapi sepertinya dia masih takut akan reaksi mamanya yang sering marah-marah.
Aku melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di sekitar kami.
Aku bergerak dari sofa, berjalan perlahan menuju tempat Reo berdiri. Ketika aku sampai di depannya, aku merunduk sedikit agar bisa sejajar dengan tinggi tubuhnya yang masih sangat kecil. Aku mengusap lembut rambutnya dan tersenyum padanya.
"Kakak nggak apa-apa. Reo gimana?" tanyaku. Senyumku membuat matanya berbinar, seolah-olah ada secercah harapan dalam setiap kata yang kuucapkan. Meski aku tahu, tidak mungkin anak sekecil ini benar-benar mengerti makna kata-kataku.
"Reo nggak apa-apa. Cuma takut aja sama mama kalau lagi marah-marah kayak kemarin," jawabnya dengan nada khawatir. Kini, dia sudah tidak lagi bersembunyi di balik pintu dan menampilkan seluruh tubuhnya yang mungil.
"Reo sendirian?" tanyaku lagi, memastikan apakah dia benar-benar sendirian di rumah. Aku bertanya-tanya, mengingat papi yang mengundangku saat ini—bukankah itu berarti papi akan pulang sebentar lagi?
Reo menggelengkan kepala dengan ragu.
"Sama siapa?" tanyaku lagi sambil meneliti keadaan rumah yang tampak sepi. Reo tampak membuka mulutnya, tetapi kemudian menutupnya lagi, seolah takut akan apa yang akan dia katakan.
"Mama?" tebakku, merasa sedikit khawatir. Reo tiba-tiba mengangguk.
"Nanti mama marah ya kalau Reo ngomong sama kakak?" tanyanya dengan mata yang penuh ketakutan. Aku menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit kesal pada ibunya yang tidak tahu batas ketika marah. Bagaimana mungkin anak sekecil ini merasa tertekan oleh kemarahan orang dewasa?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Infinity Between Us | Byeon Wooseok & Kim Hyeyoon
Fanfiction(21+) A fanfiction of Byeon Woo Seok and Kim Hye Yoon (lovely runner) Dalam pelukan waktu yang melingkupi dua sahabat masa kecil, Agas dan Asza, kisah cinta yang rumit dan memikat bermekaran. Saat mereka memasuki usia 30-an, Asza masih mencari pasan...